Minggu, 03 September 2023

Resensi Buku: Miniatur Indonesia di Desa Tanggir

"Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah-tamah kepada semua orang, menjadi acuh tak acuh kepada siapa pun." Ujaran seorang warga di Desa Tanggir saat pemilihan lurah hendak ditunaikan. 

Ada lima orang yang mencalonkan diri. Tetapi hanya dua yang dinilai layak untuk memimpin Desa Tanggir: Pak Dirga karena trah ningrat tapi berkepribadian negatif dan, Pak Badi orang biasa yang berbudi luhur. Dan pemilihan itu dimenangkan oleh Pak Dirga. Problem pertama ihwal trah keturunan mencuat di pembukaan novel ini.

Ahmad Tohari dalam novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (2015) ini memilih Desa Tanggir sebagai latar cerita utamanya. Ia menggambarkan Desa Tanggir berpenduduk lugu, tapi terjejali dengan sekian problem yang barangkali, problem itu sampai dewasa ini masih melekat dan berulang-ulang terjadi.

Selain ihwal trah keturunan, problem selanjutnya adalah pejabat yang korupsi. Setelah Pak Dirga menjabat sebagai lurah, sekian kebijakan di Desa Tanggir ia ubah dengan memperhatikan kesejahteraan dirinya dan pendukungnya, bukan masyarakatnya. Hal ini peroleh penentangan dari Pambudi, pegawainya yang kelak akan mencopot statusnya sebagai lurah.

Kemudian, simbol kebebasan berpendapat melalui Koran Kalawarta. Di masa silam, koran jadi media penting untuk alat bersuara dengan kelegaan-bebasannya. Di sinilah, Pambudi memainkan perannya sebagai manusia yang merdeka.

Keempat, adanya keturunan Tionghoa. Masuknya unsur ini saya rasa jadi ikhtiar Ahmad Tohari untuk melihat bahwa, manusia Indonesia memiliki hak yang sama. Kendati ia Tionghoa, ia tetap manusia. Pesan ini yang ingin disampaikan Ahmad Tohari dalam novel melalui tokoh Mulyani, perempuan berparas cantik. Pesan berisiko di era Orde Baru.

Oh satu lagi, unsur magis versus unsur rasional. Peran dukun dan mantra melawan rasionalitas juga muncul di novel ini. Ahmad Tohari meletakkan rasionalitas sebagai pemenangnya. Keberpihakan pemajuan dengan akal sehat jadi jalan penting pembangunan di Desa Tanggir.

Selebihnya, novel ini layak terbaca segala usia sepanjang zaman. Saya rasa begitu.

Tidak ada komentar: