Sabtu, 26 Agustus 2023

Bayang-Bayang Tasawuf dalam Aksara Jawa

Saat sekolah dasar dulu, aksara Jawa menjadi pelajaran yang menurut saya sulit untuk dikerjakan. Selain membutuhkan daya hafal, untuk menulisnya juga butuh ketelatenan. Kedua skill itu mesti padu untuk mendulang nilai di atas rata-rata. Hanya saja aksara Jawa saat itu hanya saya pahami sampai pelajaran. Tidak lebih dan tidak kurang. Titik. Selesai.

Di tahun-tahun berikutnya, aksara Jawa tersebut, lamat-lamat tenggelam. Bahkan saya tidak ingat kapan terakhir kali menuliskannya. Aksara Jawa kalah populer dengan keilmuan sosial, novel, film, dan jalan-jalan yang lebih banyak saya gemari. Tapi toh aksara Jawa sampai hari ini tetap lestari dengan jalan pelan dari mereka yang studi di jurusan Bahasa Jawa dan pengamat Jawa.

Baru beberapa hari yang lalu, cuplikanvideo Pak Faiz pengampu Ngaji Filsafat (sapaan akrab kami saat mukim di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta) lewat di beranda media sosial. Di situ ia menjelaskan tentang kekayaan intelektual dan khazanah peradaban yang dibangun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Raja yang hampir menaklukkan seluruh tanah Jawa itu, membuat aksara Jawa disertai dengan tafsir sufistiknya.

Hanacaraka misalnya, ditafsiri sebagai keberadaan manusia yang menjadi utusan-Nya di muka bumi. Tafsir ini selaras dengan ayat-ayat di dalam Al-Quran bahwa, manusia merupakan wakil-Nya. Maka konsekuensi logisnya, manusia mesti berkontribusi terhadap pelestarian dan keberlangsungan segala hal yang ada di muka bumi.

Kemudian data sawala yang ditafsiri menjadi sikap manusia: pasrah. Artinya manusia dalam menunaikan tugasnya memang kudu berupaya menunaikan kebaikan. Tetapi hasilnya seperti apa, itu di luar kuasa manusia. Hasil berada di kuasa-Nya Allah. Sekalipun yang melakukan kebaikan itu adalah para kekasih-Nya. Poin di bagian ini saya rasa adalah menekan untuk tidak jumawa antar sesama makhluk-Nya.

Selanjutnya, padha jayanya. Ketika dua hal ini saling terkait, maka ikatan yang terjalin antara hamba dengan-Nya menjadi lebih kuat. Barangkali penegasan ketauhidan atau ke-Esaan-Nya menjadi lebih paripurna.

Terakhir adalah magabhatanga. Semacam tips dari para sufi Jawa agar tetap konsisten menjaga kualitas ketauhidannya. Tips itu menekankan pada perspektif merasakan kematian sebelum kematian yang sesungguhnya. Tentu sangat banyak tafsir yang bisa diproduksi dari perspektif tersebut. Tapi sederhananya, kebaikan mesti tetap diupayakan karena usia manusia itu tidak hakiki, melainkan relatif.

Ya kita bisa mengatakan bahwa ini hanya salah satu perspektif penafsiran aksara Jawa dari sekian penafsiran yang tersedia. Sekian.

Tidak ada komentar: