Kamis, 24 Agustus 2023

Resensi Buku: Wajah (tak) Modern Kota

"Manusia urban mungkin pemburu ketinggian. Kita bisa dengan mudah menjumpai gedung-gedung bertingkat tinggi berdiri gagah di tengah kota." (hlm. 9) Pernyataan yang mengafirmasi fakta tentang kota itu bisa kita temukan dalam buku Keping-Keping Kota (2019). Buku kumpulan esai yang secara garis besar, menampilkan kota dengan aroma ambiguitas di dalamnya: cerminan peradaban maju sekaligus mengabaikan sekian hal lain yang dinilai kolot.

Dari pernyataan itu misalnya. Gedung-gedung tinggi jadi magnet masyarakat yang memaksa diri dicap sebagai manusia modern, dengan cara nongkrong di atas ketinggian (rooftop lounge). Di situ mereka berfoto, jajan berbiaya mahal, dan menikmati senja dilampiri pemandangan sesak jalanan di bawahnya.

Pada dasarnya, esai-esai Udji Kayang dalam buku ini banyak menyoroti Kota Solo dengan segenap derap perubahannya. Solo memang bukan hanya Kota Budaya, tapi juga kota sejuta festival. Udji Kayang melihat sekian hal yang ada di Solo, bisa difestivalkan. Dan festival itu bermuara pada keburu ingin beridentitasnya Kota Solo. Ini poin pertama.

Poin selanjutnya, yang menarik dari buku ini adalah kutipan yang tidak melulu diambil dari tokoh populer dengan karya mashur. Beberapa esai memilih berangkat dan atau menyelesaikannya dengan lirik lagu. Beberapanya saya sendiri malah baru tahu ada lagu yang dengan tegas mengkritik, mendefinisikan, dan menggambarkan kota dari perspektif pinggiran. Di poin ini, kita mendapati kota dari lorong yang berbalikan dengan cap peradaban modern.

Terakhir, ada beberapa esai yang tidak secara langsung menampilkan kota sebagai latarnya. Hanya saja, beberapa problem semacam radikalisme, musik, vandalisme, nikah muda, urbanisasi, kampung ramadan di mall, dan budaya populer lainnya merupakan problem nyata yang dialami oleh masyarakat kota, ketimbang masyarakat desa. Kota melesat dengan suguhan problem manusia modern.

Maka dari itu, di catatan penutup, Udji Kayang memberi wejangan: "Setiap esai anggap saja kepingan untuk menyusun gagasan tentang kota, yang tak akan pernah lengkap, utuh, dan selesai." (hlm. 181) Ya kota akan terus berubah dengan gerak cepat. Dan saya rasa esai-esai dalam buku ini bisa jadi langkah awal untuk melihat kota dari wajah yang tidak melulu sumringah menyambut kemodernan. Sekian

Tidak ada komentar: