Sekali waktu saya pernah iseng tanya ihwal pasangan seperti apa yang kelak diinginkan teman saya. Dengan tegas, gegap gempita, dan keyakinan penuh ia menjawab: "Egak terlalu pintar masak egak masalah. Fisik dan rupa tidak dibawah standar (tentu saja standar versinya). Dan yang paling penting, ilmu agamanya sudah mantab."
Jeda sekira tiga tahun, saya kembali bersua dengan teman saya itu. Pertanyaan yang sama saya ajukan. Kali ini ia menurunkan semua idealitas pasangan yang hendak menemaninya sampai hari senja. Katanya: "Ya siapa yang mau dan menerima apa adanya." Jawaban pasrah yang diucapkan dengan dalih menyesuaikan realita.
Di lain waktu, saya bertanya pada remaja yang akan masuk ke perguruan tinggi. Ia menyukai hal yang berbau dengan obat. Tentu saja pilihan studi yang akan ia ambil nanti tidak jauh-jauh dengan dunia medis, pengobatan, atau layanan kesehatan.
Ia mencanangkan mimpinya itu digantungan paling tinggi. Sekian bimbingan belajar ia tunaikan dengan semangat dan sedikit penat. Pun berkali-kali juga, ia meminta paksa siapa saja yang ia temui untuk mendoakannya agar bisa masuk di studi yang diidamkannya, termasuk saya. Saya mengiyakan.
Tapi ternyata ia gagal. Dengan penuh rasa kepayahan, ia akhirnya memaksakan diri untuk masuk ke jurusan dan di kampus lain.
Dua problem ini saya rasa memiliki satu benang yang sama: mengandaikan kesesuai-sempurnaan realitas. Orang-orang seperti ini, kalau kata Seneca (filsuf Yunani Kuno), merupakan orang yang paling banyak menderita lantaran imajinasi dibandingkan kenyataan yang mereka hadapi.
Memang tidak ada yang salah dengan menancapkan asa-cita setinggi-tingginya, tetapi juga kurang pas jika asa-cita yang tinggi itu tidak dibarengi dengan resep nriman saat terpelanting jatuh. Alih-alih bangkit dengan mental kuat saat imajinasi batal terealisasi, mereka malah menjadi pribadi yang loyoan, malesan, dan tidak pedulian. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar