Rabu, 19 Agustus 2020

Data Jamaah Masjid, Perlukah?

 

Salah satu wujud masjid makmur antara lain ditilik dari kuantitas kedatangan jamaah yang semakin meruah. Tidak hanya saat menunaikan shalat lima waktu, tapi juga kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya yang digelar di masjid mendapat sambutan antusias dari jamaah.

Nah, salah satu strategi untuk meningkatkan jamaah agar semakin kepincut datang ke masjid ialah dengan melakukan pendataan. Sejauh ini –yang saya tahu- strategi itu kali pertama dilakukan oleh Masjid Jogokariyan, salah satu masjid yang ada di Yogyakarta. Saya pernah bertanya perihal itu ke salah satu pengurus masjid, apa yang melatarbelakangi pendataan jamaah di masjid? Katanya, “Kalau pada umumnya ya biar kami tahu berapa jumlah jamaah kami secara keseluruhan. Setelah itu, kami melakukan pemilahan mana jamaah yang sudah rutin datang ke masjid, jarang, atau tidak pernah sama sekali.”

Identifikasi itu oleh mereka dijadikan dasar untuk melakukan ajakan kepada jamaah, terutama yang masih jarang dan belum pernah sama sekali. Jamaah-jamaah tipe ini diberi undangan (mungkin seperti undangan resepsi) oleh pengurus agar datang ke masjid. Di masjid sendiri, mereka memancing kedatangan jamaah dengan menyediakan sarapan pagi. Hal ini dilakukan secara terus-menerus sampai hari ini Masjid Jogokariyan terus sesak ketika saat shalat fardhu ditunaikan. Warga juga antusias datang mengikuti kajian dan kegiatan di masjid.

Data jamaah ini tidak hanya meliputi keaktifan jamaah ke masjid, tapi juga jumlah keluarga, ekonomi, dan pendidikan. Sebab pengurus Masjid Jogokariyan memiliki persepsi bahwa bisa jadi ketidakhadiran jamaah ke masjid bukan karena malas, tapi disebabkan oleh kesibukkannya bekerja, atau variabel-variabel lainnya.

Di sisi lain, pendataan ini juga menjadi acuan wilayah kerja dari pengurus masjid agar tidak tumpang tindih dengan masjid lain. Sebab bukan tidak mungkin, dalam satu desa kita bisa mendapati lima atau malah lebih masjid yang berdiri. Maka ketika masjid memiliki data, misalnya radius berapa ratus meter menjadi bagian dari jamaah masjid a, kemudian radius berapa ratus meter lagi b, dan seterusnya.

Sepintas strategi ini bagus dan tidak ditemukan celah kekurangannya dalam memakmurkan masjid. Tapi tunggu dulu, coba lihat di mana letak Masjid Jogokariyan itu. Masjid ini letaknya di pusat keramaian kota dengan infaq setiap kali shalat Jumat mungkin menyentuh angka lima sampai tujuh juta. Maka bukan hal yang sulit bagi pengurus masjid untuk mengajak jamaah datang dan menambahi fasilitas sarapan, memberi santunan ekonomi kepada jamaah yang membutuhkan, dan memberi semacam beasiswa bagi anak keluarga jamaah yang kurang mampu.

Coba bandingkan dengan masjid yang ada di desa dengan mayoritas jamaah berprofesi sebagai petani, nelayan, kuli bangunan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang kemungkinan besar tidak bisa melakukan jamaah di masjid –terutama- di waktu dhuhur dan ashar. Maka tidak mengherankan jika saat dhuhur, jamaah yang datang ke masjid hanya empat atau lima orang. Begitu pun shalat ashar.

Di sisi lain, pendapatan sekali infaq Jumat di masjid desa tidak sampai menyentuh angka dua juta. Bahkan di masjid saya, nominal jutaan bisa didapati hanya setiap kali shalat ied, dua kali dalam satu tahun. Selebihnya hanya dua sampai empat ratus, dan jika diakumulasikan selama sebulan hanya mendapat sekitar satu juta-an. Maka kemungkinan kecil sekali bagi masjid di desa untuk memberi fasilitas kepada jamaah berupa sarapan pagi tiap hari, pemberian bantuan pendidikan dan ekonomi.

Nah, belum lagi jika ada jamaah yang saling berseteru. Sebut saja misalnya Pak Bade yang enggan jamaah di masjid depan rumahnya karena ada problem dengan pengurus masjid, atau Bu Muriana yang emoh jamaah ke masjid di desanya karena malu pada kelakuan anaknya. Realitas-realitas seperti ini jamak didapati pada tiap jamaah yang tidak bisa dipatok hanya karena sudah ada pendataan. Bahwa jamaah sudah didata oleh pengurus masjid a, b, c itu iya. Tapi memilih masjid mana sebagai tempat ibadah yang nyaman juga tidak bisa disalahkan.

Nah, lantas bagaimana strategi memakmurkan masjid yang sesuai? Ya pendataan itu tetap penting, hanya saja strategi memakmurkan masjid yang harus dilakukan selepas pendataan disesuaikan dengan kondisi lingkungan di sekitar masjid. Sebab saya meyakini bahwa tiap masjid memiliki problemnya masing-masing. Ada yang muadzinnya sudah sepuh, ada yang sedang melakukan pembangunan kamar mandi, ada yang rebutan imam, begitupun ada yang kuantitas jamaahnya sedikit. Begitu.

2 komentar:

Haryo Slamet mengatakan...

Memang benar...
Susah menerapkan sistem masjid Jogokaryan ke daerah kita, kesibukan masyarakat salah satu penyebabnya...

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, leres. Beda masjid, beda masalah dan cara mengelolannya