Dulu sewaktu kecil, saya kerap girang ketika mendengar bunyi tulit-tulit dari sepeda montor yang parkir di halaman rumah. Ia datang membawa serombong sayur, beberapa kantong jajanan pasar (inilah yang membuat saya kadang menunggunya beberapa jam), dan kerumunan yang mayoritas didominasi oleh emak-emak.
Untuk yang terakhir, mereka kadang tidak hanya sekadar membeli sayur kebutuhan dapur, namun juga memiliki topik obrolan update seputar pernikahan anaknya Pak Muji, menantunya Bu Yola, atau hasil panennya Pak Pardi. Bahkan terkadang topik privasi juga didedah saat itu juga. Ya, kita boleh mengatakan bahwa kedatangan bakul etek menjadi semacam ruang kelas untuk menyampaikan materi, melaksanakan ujian, dan melakukan penelitian bagi emak-emak.
Tapi apakah semua emak-emak seperti itu? Saya rasa tidak. Ada juga beberapa di antara mereka yang memilih pulang ketika sayur atau jajanan pasar sudah didapat. Mereka memilih untuk turut andil dalam obrolan yang faktanya belum bisa dipastikan. Untuk golongan ini, saya menyebutnya sebagai emak-emak yang selektif.
Berbeda dengan emak, cerita anak jauh lebih positif menyambut kedatangan bakul etek. Anak-anak hanya perlu jajanan, dan kembali pergi bermain usai jajanan sudah di tangan. Anak-anak tidak peduli dengan kabar update lingkungan sekitarnya.
Hanya saja terkadang ada anak yang ingin jajanan tertentu, tapi oleh emaknya tidak dikabulkan. Alih-alih mendapat jajanan atau janji besok akan dibelikan, anak itu justru dibentak di depan persis bakul etek, teman-temannya, dan emak-emak lainnya. Lebih dari itu, cubitan khas biasanya mendarat di lengan atau paha hingga meninggalkan jejak lebam dalam narasi sejarah perjalanan hidup anak.
Kalau hanya itu, saya kira tidak terlalu besar. Karena dalam tempo beberapa hari, luka cubit itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi coba bayangkan jika anak usai dibentak dan dicubit karena tidak boleh makan jajanan itu lantas mengalami trauma berkepanjangan. Anak menjadi minder, takut bersuara karena ada bayangan dibentak, atau bisa jadi malah depresi. Ya ini bisa disebut sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Tapi hal semacam itu bukankah tetap ada kemungkinan untuk terjadi, meski hanya sempit?
Sebelum melebar, kembali lagi ke bakul etek dalam kacamata pandemi Covid 19.
Disadari atau tidak, di masa pandemi seperti ini, bakul etek memiliki kontribusi yang signifikan terhadap varian makanan di dapur keluarga. Makanan yang tersedia tidak hanya mie instan atau ceplok telur, tapi juga ada sayur kangkung, bayem, gambas, dan seabrek khazanah persayuran. Pengecualian diberikan kepada keluarga yang sudah swadaya, dalam arti sudah punya tabungan sayur, bumbu, dan buah entah dalam bentuk ditimbun atau tanaman.
Lebih-lebih ketika Covid 19 menjadi tamu berbahaya di Bulan April dan Mei. Banyak di antara kita yang terpukul telak. Pedagang di pasar yang biasanya mendapatkan omset banyak, ketika bulan-bulan itu mereka harus berdiam diri semadi dan meratapi kapan pandemi ini usai. Begitu pun pembeli yang hanya meratapi kebingungan untuk mendapat jawaban besok makan apa? Masak itu-itu lagi? Sedangkan berangkat menjejakkan kaki ke luar rumah rasanya seperti ada beban yang menancap di pundak (ehm!).
Nah, di momen inilah bakul etek datang persis seperti pahlawan yang bukan kesiangan. Ia dengan telaten ke pasar mengangkut barang dagangan yang kurang laku, kemudian dijajakan dari satu desa ke desa lainnya. Bahkan tanpa pamrih yang lebih, ia berhenti di depan halaman atau pekarangan rumah warga. Emak dan anak hanya cukup berjalan beberapa meter saja sudah bisa mendapat varian masakan di dapur.
Mungkin Cindy Adams wartawan perempuan Amerika pernah menulis otobiografi Soekarno Presiden Pertama Indonesia dengan tajuk Penyambung Lidah Rakyat, maka bakul etek juga boleh diberi kata semat Penyambung Cita Rasa Masyarakat. Hehehe.
6 komentar:
Profesi sederhana namun penuh jasa
Enggeh pak, leres. hehehe
tukang sayur keliling (bakul eyek) sangat berjasa bagi ibu-ibu yang malas ke pasar....
Menarik dan inspiratif kang mas
Enggeh pak, nominasi gelar pahlawan tanpa tanda jasa, hehehe
Maturnuwun pak
Posting Komentar