Sore tadi, saya bersama empat kawan mengadakan janji temu di Kafe Basabasi, di daerah Nologaten, Yogyakarta. Kesepakatan yang dilakukan di hari sebelumnya mewajibkan semua datang tepat jam tiga sore. Hanya saja, kesepakatan itu meleset. Kami berlima memang jadi bersua, namun mundur satu jam. Tidak perlu saya bahas lebih dalam soal kultur yang telah mengakar kuat ini, M.O.L.O.R.
Persuaan itu memang saya yang menyengaja mengajaknya. Sebab ada agenda maha penting yang belum rampung, yakni tanggungan program kerja utama pengabdian di teras utara Indonesia.
Begini, saya ringkas ceritanya agar lebih mudah dipahami khalayak luas.
Dulu sebelum berangkat KKN, kami bersepuluh yang terdiri dari berbagai macam latar belakang keilmuan, kehidupan, dan kecenderungan makanan dipertemukan dalam kebingungan. Lha bagaimana tidak bingung, kami bersepuluh dipilih untuk melakukan pengabdian di seberang pulau, di Kecamatan Kwandang, Gorontalo Utara.
Kebingungan kami cukup beralasan, selain memang baru kenal dan masih malu-malu untuk berkomunikasi satu sama lain, ada dua hal lain yang menjadi penyebabnya. Pertama, kami tidak diberi kesempatan untuk melakukan observasi awal untuk melihat peta potensi di daerah tersebut yang bisa dikembangkan atau problem apa yang perlu diselesaikan. Akses kami untuk melihat itu semua hanya melalui laman berita di internet yang tingkat kebenarannya cukup diragukan. Berbeda dengan kelompok lain yang pengabdiannya di Jawa, mereka bisa melakukan observasi awal, sebulan atau sepekan sebelum keberangkatan KKN.
Kedua, kami terkendala dalam bahasa dan budaya. Memang di kelompok kami ada dua orang yang berasal dari sana, namun keduanya cukup terbatas untuk mengedukasi yang lain perihal ini. Bahasa mereka cenderung dominan Arab, Inggris, dan Indonesia. Maklum, hidup keduanya dihabiskan di pondok pesantren dan MAN Insan Cendekia Gorontalo.
Padahal bahasa menjadi sarana penting untuk menjalin relasi dengan penduduk setempat. Bahwa kami bisa bahasa Indonesia memang iya, tapi bagaimana dengan mereka? Kemudian budaya setempat yang juga perlu digarisbawahi. Kami menyadari bahwa beda tempat, beda budaya. Dan ini menjadi persoalan serius ketika kami akan berangkat ke dan tiba di sana.
Dari kebingungan itu, kami bermufakat untuk menyusun program kerja tambahan di sana. Lantas apa program kerja utamanya? Kami ingin membuat buku. Mendokumentasikan pengabdian dalam bentuk catatan tertulis yang bisa diwariskan kepada adik kelas dan anak keturunan.
Sebab kami juga memiliki misi untuk mengubah persepsi masyarakat, bahwa pengabdian yang dilakukan oleh kampus berbasis Islam kerap dicap hanya mentok di pengajian, khotbah Jumat, dan mendoakan ketika ada warga yang memiliki hajat (tahlilan). Selebihnya, mahasiswa dari kampus Islam cenderung agak –untuk mengatakan sangat- diremehkan, terutama di program kerja pembangunan fisik dan kualitas masyarakat di luar sisi religiusitasnya.
Rencana awal kami ingin menulis sejarah lokasi pengabdian kami yang meliputi mitos-mitos, sejarah politik-pemerintahan, ekonomi warga, kehidupan sosial, ritus-ritus yang dilakukan secara turun-temurun, tokoh-tokoh Islam setempat, dan menginventarisir benda bersejarah dan bermodern.
Namun rencana awal itu tidak berjalan mulus. Saya rasa ada dua hal yang menjadi musababnya. Pertama, tiap orang memiliki keterampilan menulis yang tidak sama. Sehingga mengolah suatu kasus menjadi satu tulisan menjadi aktivitas yang merepotkan. Ada yang sudah mahir, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang sama sekali tidak pernah berkecimpung di dunia tulis-menulis.
Kemudian yang kedua persoalan data sebagai bahan tulisan. Dua orang teman saya yang diceritakan di awal, bahasa lokal yang dikuasai hanya beberapa saja. Itu pun bahasa yang sederhana, kalau di Jawa disebut bahasa ngoko. Sedangkan bahasa Gorontalo yang halus, mereka luput tidak tahu. Padahal data itu ada pada mereka yang rata-rata sudah renta dan komunikasinya memakai versi yang halus. Alhasil kami pun agak putus asa menghadapi kenyataan ini.
Padahal tiap kali melakukan kunjungan, baik ke kampus setempat, instansi pemerintahan, dan sekolah-sekolah, program itu sangat dielu-elukan. Sederhananya, program pembuatan buku pengabdian itu sangat dinanti oleh mereka, dan akan dipamerkan kelak kepada kelompok KKN lain yang datang sesudah kami.
Namun, program utama ini malah mengendap sampai kami pulang. Kami belum bisa menemukan solusi mujarab untuk menggarapnya. Di sisi lain, kami kembali disibukkan oleh berbagai aktivitas. Ada yang ngebut menyelesaikan tugas akhir, ada yang aktif di organisasi atau menjadi lurah di pondok pesantren, ada yang menjadi asisten dosen, dan kesibukan lainnya.
Akhirnya dengan malas, saya menagih tulisan mereka satu per satu. Kendati sudah ada yang lulus, tapi saya tidak mempersoalkan itu. Saya hanya menagihnya dengan embel-embel tanggung jawab. “Wis, nulis o. Sak isomu. Mosok wis lulus program utama KKN malah durung rampung”, ucap saya memacunya untuk menulis.
Singkat cerita mereka semua menulis, termasuk saya. Hanya saja arahnya tidak sama dengan rencana awal. “Egak perlu kayak rencana awal. Pokok apa pengalamanmu di sana, kamu tulis. Berapa pun tulisannya, dikirim lewat emailku”, ucap saya di grup whatsapp.
Akhirnya buku berhasil terbit. Dan pertemuan kami sore tadi untuk membahas masa depan buku. Kalau sudah terbit, buku ini akan di kemanakan atau siapa saja yang berhak diberi sebagai bentuk apresiasi. Dan tentu saja, siapa yang tidak dijatah tapi ditarik untuk mau membelinya.
Nah, jika anda tertarik untuk membaca dan ingin tahu isinya, anda bisa meminangnya dengan mahar 45 ribu rupiah saja (ehm promosi). Harga itu tidak lebih mahal dari harga baju, sarung, kopiah, dan kuota data anda.
KKN kok cinlok mulu, mbok seng mutu. Contone gae buku, hehehe.
4 komentar:
Tak pinang pak...
Sangat inspiratif...
Maturnuwun pak😁🙏 ...
Mantab pak Geng..
Hehehe nuwun pak
Posting Komentar