Menulis itu asyik. Tidak perlu berfikir panjang lebar, asal ada pesan atau ide yang ingin ditulis dan direspon oleh orang banyak, tulislah. Mirip dengan menulis status di whatsapp. Sesederhana itu.
Nah, teman saya Vita bisa menjadi contoh konkretnya. Ia hampir setiap hari menulis melalui status whatsappnya. Dan saya mungkin menjadi salah satu diantara sekian pembaca yang menunggu-nunggu tulisannya.
Ya meski harus saya akui, di awal-awal saya sempat memprotesnya. “Mbok nulis ki di laptop. Wong ada aplikasi word kok egak dimanfaatkan. Atau kalau mau nulis yang agak panjang kan bisa di facebook, bukan di status whatsapp”, protes saya dengan diakhiri emoticon sebel bets.
Alih-alih menanggapi protes saya dengan kalimat pembelaan-argumentatif, ia malah membalasnya dengan emoticon senyum mringis. Melihat balasannya itu, saya justru berniat menimpali lagi dirinya dengan membabi-buta. Menghakimi sebagai polisi tulisan. Tapi untungnya saat itu saya sedang dikejar deadline, akhirnya chat itu saya biarkan saja.
Sekitar tiga hari setelahnya saya kembali membaca status di whatsappnya. Kalau saya tidak salah hitung, ada sekitar sebelas statusnya yang berisi tulisan penuh. Full tulisan, tidak ada emoticon, gambar, atau video. Karena penasaran, saya membacanya satu per satu.
Di statusnya saat itu, ia menulis cerita pendek (selanjutnya disebut cerpen). Ia bercerita tentang seorang anak yang ikut bekerja dengan bapaknya sebagai pengumpul barang rongsokan. Si anak ini digambarkan memiliki sifat periang. Sedang si bapak memiliki jiwa yang tegar, selalu tersenyum meski keadaan dililit kesulitan.
Dan di statusnya ke tujuh, ia menggambarkan latar di mana keduanya bekerja, yakni di bawah jalan layang yang di samping kanan-kiri ada mall, hotel, dan gedung menjulang tinggi. Orang berlalu-lalang memacu ketepatan waktu. Pun begitu deru mesin yang tidak usai bergeming. “Kedua anak bapak itu malah menikmatinya sebagai lantunan lagu penguat kehidupan”, tulisnya di kalimat akhir.
Sekali waktu saya ingin tahu, kenapa ia memilih menulis di status whatsapp? Jawabannya cukup sederhana. “Saya ingin membuat status seperti teman-teman lainnya. Tapi bingung, akhirnya saya buat cerita aja. Toh, masih jarang atau malah tidak ada sama sekali yang membuat cerita di status whatsapp”, katanya.
Lantas saat saya tanya apakah ia menyalin tulisannya di laptop dan sudah berapa jumlahnya? Ia menjawab iya. Tapi ia mengakui kadang beberapa cerita yang dijadikan status whatsapp itu lupa tidak disalin dan hilang di hari berikutnya. Ia menyayangkan keteledorannya sendiri.
Di sisi lain ia juga girang bukan kepalang. Karena dari hasil iseng membuat status itu, ia berhasil menulis 27 cerita pendek. Dan beberapanya ia kirim ke media online kemudian dimuat plus dapat honorarium.
Melihat geliat menulis Vita di status whatsapp ini kita bisa menyebutnya sebagai kecelakaan yang menguntungkan. Iya kecelakaan, sebab ia menulis cerita bukan karena memang niat menulis, tapi ia ingin membuat status di whatsapp. Malah ia merasa ada yang kurang lengkap melalui hari jika belum membuat cerita di status whatsappnya.
Kalau untungnya, ya ia menjadi penulis cerpen tanpa ia sadari. Perlahan tapi pasti, keahlian dan daya ceritanya semakin terasah dan bertenaga, setidaknya ini menurut saya yang membaca beberapa status whatsappnya. Bahkan saat saya merampungkan tulisan ini, ia masih terus membuat cerita. Dan bukan tidak mungkin, tahun depan ia akan melahirkan buku kumpulan cerpen atau malah novel dari hasil nyicil di status whatsappnya.
Bagaimana? Dari Vita, kita diajari bahwa menulis itu memang mudah, semudah seperti membuat status di whatsapp.
4 komentar:
Ternyata...
Mudah....
Tapi....
Kok blm tertular ke aku ya...
Pelan-pelan pak, hehehe.
Matursuwun p. Sugeng, dari catatan harian jenengan yang memang ajek alias rutin adalah jurus jitu bdlm menulis... Smga dpt menginspirasi... Saya dan orang lain
Sami-sami bu, amin-amin. Tulisan njenengan nggeh bagus bu, semangat ....
Posting Komentar