Minggu, 20 September 2020

Nama Saya Dzul

Pertama kali kami bertemu, saya mengira Dzul berasal dari Indonesia Timur. Ternyata ia malah tidak memiliki kerabat, apalagi nenek moyang dari Indonesia Timur sedikit pun. Ia berasal dari Aceh. Usia Dzul menginjak kepala tiga. Saat bertemu saya, ia mengenakan pakaian berawarna biru dengan celana biasa berwarna hitam. Cara tutur bahasanya agak sulit. Beberapa kali saya harus mengulang apa yang ia sampaikan, agar respon yang saya berikan bisa tepat.

Ia menjadi pejalan sejak lulus sekolah menengah atas. Sudah puluhan tempat ia jelajahi. Tahun kemarin ia ke Bali. “Iya, (tahun) kemarin itu saya naik travel dari Jakarta sampai Bali. Tapi untungnya di Cirebon, kami istirahat di hotel. Lumayan, bisa jalan-jalan sebentar. Kan (kalau) di dalam travel terus rasanya bosan”, kenangnya.

Di Bali ia bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa antar jemput wisatawan domestik dan mancanegara. Semacam sopir. Tapi karena ada pandemi Covid 19 yang berdampak dengan menurunnya wisatawan, perusahaannya pun sementara waktu tutup dan memberhentikan beberapa pekerjanya. Dan Dzul menjadi salah satu diantara sekian orang yang diberhentikan.

Ia masih beruntung, karena setelah diberhentikan, ia masih diterima bekerja membersihkan perahu milik nelayan di sana. Dari situ ia mendapat upah yang cukup untuk makan dan menyambung hidup. Tapi lagi-lagi ia diberhentikan karena tangkapan ikan menurun, dan harga jualnya tidak seberapa.

“Kurang lebih tiga bulan mas saya menganggur di sana (Bali). Ya saya menganggapnya malah bukan menganggur, tapi liburan. Udah tak anggap gitu aja. Saya juga sering berjalan-jalan di pantai, kemudian mengobrol dengan turis. Hitung-hitung mengasah kembali bahasa saya”, ujarnya mengenang masa pahitnya.

Selama tiga bulan itu, ia teringat hanya bekerja dua hari sebagai penjaja cinderamata di sepanjang pantai. Tapi ia merasa tidak cocok untuk melakukan pekerjaan itu. Ia pun keluar dan memutuskan untuk kembali ke Aceh melalui Pulau Jawa. Diantara momen yang dikenang selama di Bali, selain mencari tempat shalat jauh dan sulit, ia juga menemukan pemandangan yang mungkin tidak pernah ditemui di Aceh, yakni pure, masjid, dan gereja berdiri dalam satu lokasi di Puja Mandala Nusa Dua.

Sesampainya di Surabaya, setelah dites dan segala macamnya, ia merevisi rencananya pulang ke Aceh. Ia ingin mampir di beberapa titik. “Mumpung di Jawa mas. Tanggung. Belum tentu tahun depan bisa kembali lagi ke Jawa”, katanya.

Ia pun memutuskan pergi ke Madiun dan Surakarta, tempat temannya sekolah dasar menetap dan membuka usaha dagang. Setelah itu ke Yogyakarta bertemu Pak Fahruddin Faiz pengampu ngaji filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. Kali pertama ia mendengarkan ngaji filsafat pada tahun 2018. Saat itu ia melihat status whatsapp temannya yang setiap hari mengunggah potongan-potongan video. Ia merasa tertarik. Beberapa bahkan ia meminta dan menyimpan di handphone miliknya. Namun sayang, di tahun 2018 akhir, handphonenya rusak dan tidak bisa diperbaiki.

Ia mengaku senang mendengar ngaji filsafat, terutama saat membahas Hamzah Fansuri. “Di Aceh itu Hamzah Fansuri bukan dianggap sebagai sufi, tapi sebagai bapak bahasa. Kalau sufi di sana cenderung ke Imam Al Ghazali. Maka dari itu, kitab-kitab Hamzah Fansuri di sana (Aceh) beberapa dilarang mas. Sama kayak kitab-kitabnya Ibn Arabi, Al Hallaj, dan Syaikh Siti Jenar”, terangnya.

Mendengar cerita Dzul tentang Hamzah Fansuri, saya teringat pada salah satu babakan hidup Hamzah Fansuri yang divonis sesat. Buku-bukunya dibakar di tengah alun-alun. Ajaran-ajarannya pun juga dicekal dan dilarang untuk dituturkan kepada masyarakat. Pemikirannya banyak dikritik oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkilli yang merupakan anak dari Ali Fansuri, kakaknya Hamzah Fansuri. Syaikh Abdurrauf As-Singkilli ini banyak dibantu oleh ulama dari India, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, seorang ulama fikih yang sedikit banyak pemikirannya tidak terlalu nyambung dengan Hamzah Fansuri. Uniknya lagi, tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri masih belum pasti. Bahkan makamnya ada tiga, dua di Aceh dan ada yang mengatakan ia juga dimakamkan di Mekah.

Nah, mungkin karena hal itu, Hamzah Fansuri lebih dikenalkan sebagai bapak bahasa, bukan sebagai seorang sufi yang memiliki ajaran wujudiyah. Ajaran yang sejatinya meng-Esakan Allah dalam tutur kata, perilaku, dan batinnya.

“Saya dulu egak ngerti mas, apa yang dimaksud Hamzah Fansuri di puisi-puisinya. Kalau baca, pernah. Terus saya iseng cari di internet maksud puisi-puisinya itu, eh ketemunya ngaji filsafat Pak Faiz. Kemudian saya dengarkan kok enak ya penjelasannya. Itu saya putar berulang-ulang mas”, katanya.

Tapi ia sendiri menyadari kalau pengajian yang diikuti memicu kontroversi dan perdebatan yang panjang jika sampai terdengar anggota keluarga atau teman-temannya. Maka ia pun memilih mematikan jika ada orang di sampingnya. Kemudian memutar kembali selagi berada di kamar atau ruangan sendiri. “Ya takutnya mereka nanti mikir yang egak-egak mas. Padahal kalau didengar betul-betul, yang dingajikan itu baik kok”.

Setelah ia menginap di Yogyakarta selama tiga hari, ia pun melanjutkan perjalanan ke Semarang, kemudian Garut. Katanya di sana ada temannya yang dulu pernah bekerja bersama. Dari Garut, ia ke Jakarta kemudian langsung ke Aceh.

“Ya begini mas. Kayak saya ini tidak tahu kedepannya seperti apa. Tidak menetap dan tidak mempunyai rencana,” ujarnya sembari minum air putih. Dzul mungkin menjadi salah satu diantara sekian pejalan yang hari ini terus-menerus menapak banyak tempat tanpa direncanakan dan tanpa tahu kapan menetap untuk berhenti.

2 komentar:

prianto mengatakan...

Selalu ada yang menarik dan menjadi informasi penting. Suwun pak

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Terimakasih pak apresiasinya.