Kuliah Kerja Nyata (yang selanjutnya disebut KKN) menjadi momen penting yang kadang sulit untuk dilupakan. Sebab banyak peristiwa, baik suka maupun susah yang dijalani bebarengan selama kurang lebih satu bulan. Kita bersua dan diwajibkan menjalin komunikasi dengan teman baru yang sebelumnya mungkin pernah bersimpangan di lorong kampus tapi tidak saling sapa. Atau memang sama sekali belum pernah bersua meski berada di fakultas yang sama.
Begitupun saya yang tahun lalu dikirim ke Gorontalo Utara untuk menjalani KKN bersama sembilan orang teman. Meski sudah mahasiswa, kami merasa canggung untuk berkenalan. Mungkin ini dialami oleh banyak orang, bahwa kenal sebagai bagian dari langkah awal menjalin relasi menjadi laku yang tidak mudah untuk ditunaikan. Kenapa? Setidaknya ada dua hal yang melatarinya.
Pertama, dalam konteks psikologis, manusia lebih bersikap defensif jika bertemu dengan hal-hal baru. Mudahnya, manusia cenderung tidak reaktif. Manusia akan melakukan pengamatan dulu, menilai, dan mengkalkulasi sebelum berbicara. Jika orang yang baru dikenalnya ini memiliki perangai buruk misalnya, respon yang kita berikan akan berbeda dengan orang yang perangainya baik.
Hanya saja yang perlu digaris bawahi, perkenalan ini hanya sebagai data awal yang kadang bisa menjebak. Kenapa? Belum tentu orang yang mulanya kita kenal berkata kasar dan seenaknya sendiri cenderung sikapnya jelek. Itu belum tentu. Malah bisa jadi orang-orang seperti ini lebih terbuka jika ada suatu masalah. Jika ia setuju atau tidak, keberpihakannya jelas dan tegas. Sebaliknya, belum tentu juga orang yang mulanya kita kenal penuh tuturan lembut, halus, dan sopan sikapnya cenderung baik. Malah kadang saya menemukan perkenalan semacam itu hanya sebagai dalih menutupi keburukan dirinya sendiri. Tapi memang ada juga orang yang dasarnya sudah baik atau buruk dari sononya.
Kedua, dalam konteks sosiologi, ada identitas diri yang melekat dan menjadi pertimbangan kuat. Misalnya saya sendiri. Saya lahir, tumbuh-berkembang, dibesarkan, dan dibentuk pemikirannya dari kultur nahdliyin. Mulai dari kecil sampai sekarang, banyak buku yang saya koleksi dan baca, kemudian ceramah-ceramah, belum lagi lingkar diskusi didominasi oleh orang-orang nahdliyin. Maka jelas, prinsip saya adalah prinsip nahdliyin, baik dalam bersikap, bergaul, maupun berpikir.
Nah, ketika berkenalan dengan teman-teman KKN, identitas ini menjadi proteksi awal -tanpa disadari- yang saya gunakan. Ketika di perkenalan itu ada teman saya yang dari Persis, pengurus Jamaah Tabligh, dan Muhammadiyah, saya mengalami (kalau bahasa antropologinya) culture shock. Ada semacam benturan budaya yang terjadi di dalam diri saya.
Saya rasa ini lumrah dan tiap orang yang kali pertama menjalin relasi dengan orang di luar afiliasinya akan mengalami culture shock ini. Persoalannya kemudian adalah, di masyarakat kita masih banyak yang belum bisa memilah benturan budaya ini dengan proporsional. Mana ranah akidah, mana ranah sosial. Mana batas-batas yang boleh dikemukakan, mana yang urusan dapur. Jika pemilahan ini belum bisa dilakukan, maka tidak mengherankan jika ada sikap dan bahasa yang cenderung menutup diri. “Oh ternyata dia kelompoknya Jamaah Tabligh, yawis saya tak hati-hati”, kira-kira seperti itu.
Dua hal ini yang kadang –kalau boleh disebut- menjadi hambatan bagi tiap orang untuk berkenalan dengan orang lainnya. Ada kalimat menarik dari Pip Jones di buku Pengantar Teori-Teori Sosial Edisi Kedua terkait perkenalan ini. Katanya, “Bayangkan anda tinggal di sebuah kota besar. Berapa banyak orang yang anda kenal (dengan) baik? Dua puluh? Lima puluh? Nah, coba bayangkan sekarang, berapa banyak orang yang anda temui setiap hari, yang tidak anda kenal (dengan) baik?”
Oleh karena itu, saya cukup merayakan bisa berkenalan dengan teman-teman KKN yang berbhineka, baik dari latar belakang maupun afiliasinya. Kendati dua hal di atas tadi, mesti dan mesti menjadi batu loncatan yang melulu saya hadapi sebelum berjabat tangan dan menanyakan, “Mohon maaf, siapa namamu?”.
1 komentar:
Wani PS mas?
Posting Komentar