Senin, 12 Oktober 2020

Dialog Kesucian dari Socrates dengan Euthyphro

Dialog antara Socrates dengan Euthyphro tentang kesucian menarik untuk disimak. Berangkat dari kasus Socrates yang dituduh membuat dewa baru dan menolak dewa-dewa yang lama oleh seorang pemuda bernama Meletus. Sedangkan Euthyphro akan menuntut ayahnya karena tuduhan pembunuhan. Dua kasus ini membuat dialog kesucian tidak hanya sebatas benar dan salah semata, namun bisa merambah pada keluasan berfikir, bahkan sampai kritik teologi.

Euthyphro sendiri memiliki keyakinan yang mendalam tentang kesucian. Sehingga Socrates sendiri tidak segan memilihnya menjadi guru dan bertanya tentang apa esensi dari kesucian itu sendiri.

Mulanya Euthyphro menjawab esensi kesucian melalui contoh-contoh dari keburukan yang patut mendapat balasan setimpal atau kebaikan yang harus mendapatkan penghargaan dan apresiasi. Euthyphro memberi contoh soal pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya tersebut.

Oleh Socrates hal ini dibantah dengan mengemukakan bahwa di dunia ini banyak sekali hal-hal baik dan buruk, sehingga kesucian akan sulit untuk ditemukan esensinya. Selain itu, bagi Socrates pemberian contoh-contoh itu tidak menunjukkan esensi dari kesucian, hanya sebagai indikasi semata

Kata Euthyphro, “Baiklah, kesucian adalah apa yang dicintai oleh dewa-dewi dan apa yang tidak dicintai oleh mereka adalah tidak suci.”

Dalam konteks historis, masyarakat Yunani menyembah banyak dewa atau dalam istilah teologinya, politeisme. Ada banyak dewa-dewa di Yunani, mulai dari Zeuz, Chronos, dan lain-lain. Masing-masing dewa memiliki perangai yang hampir mirip seperti manusia. Sehingga menurut Socrates, bagaimana mungkin dengan banyaknya dewa bisa menyetujui satu esensi kesucian. Ada kemungkinan dewa Zeus setuju, sedangkan Dewa Chronos tidak. Di titik inilah Socrates memberi kritik terhadap kepercayaan politeisme.

Menurut beberapa ahli sejarah, kritik yang dilakukan oleh Socrates ini hampir mirip dengan Nabi Muhammad. Dulu Nabi Muhammad juga melakukan kritik terhadap kepercayaan paganisme, atau kita mengenalnya dengan berhala. Berhala-berhala yang banyak dan dijadikan tuhan oleh masyarakat Arab saat itu, oleh Nabi Muhammad diganti dengan Allah yang monotesime. Hal ini dibuktikan dengan turunya surat Al-Ikhlas di juz 30.

Menakar Sesat Pikir Euthyphro

Secara singkat, dialog itu berakhir dengan ketidak sanggupan Euthyphro menjelaskan esensi kesucian. Malah yang terjadi dialog keduanya serasa berkutat pada hal-hal itu saja. Namun di sisi lain, dialog ini juga membuka pemahaman baru Euthyphro terkait kesucian. Bahwa apa yang dianggap suci olehnya, bisa jadi hanya salah satu bukan satu-satunya definisi kebenaran.

Apa yang disampaikan oleh Euthyphro ini juga mengandung bias-bias ketika berpikir. Dalam bukunya Fahruddin Faiz bertajuk “Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika” (Yogyakarta: MJS Press), pemikiran kesucian Euthyphro ini bisa diklasifikasikan sebagai orang yang terjangkit Social Proff. Social Proff atau yang disebut herd instinct membuat seseorang merasa bahwa apa yang mereka lakukan akan terlihat benar kalau yang dilakukannya sama seperti yang dilakukan oleh orang lain.

Bisa jadi, jika dilacak persepsi kesucian dari Euthyphro ini, ia berangkat dari asumsi kebanyakan masyarakat Yunani pada saat itu. Bahwa kesucian itu merupakan keberpihakan pada dewa, baik laku maupun tempat bergantung dari segala keperluan. Sehingga ketika didedah oleh Socrates melalui serangkaian pertanyaan, Euthyphro pontang-panting dalam menjawabnya.

Atau bias berpikir Euthyphro ini juga bisa disebut dengan availability bias, yakni menciptakan suatu gambaran dengan menggunakan contoh-contoh yang lebih mudah untuk diingat. Sehingga ketika ditanya oleh Socrates apa esensi kesucian, dengan sekejap Euthyphro menjawab menggunakan contoh-contoh perilaku kebaikan dan keburukan.

Terakhir, ada kalimat pamit Euthyphro yang bisa dijadikan penutup. Katanya, “Barangkali pada waktu yang lain, Socrates. Sekarang saya tergesa-gesa ke suatu tempat”. Sekian.

Tidak ada komentar: