Jumat, 16 Oktober 2020

Merayakan Keragaman

Semenjak menunaikan studi perguruan tinggi di Yogyakarta, lingkar pertemanan saya bisa dikatakan berubah seratus delapan puluh derajat. Lebih-lebih soal afiliasi ideologi, prinsip pemikiran, dan buku bacaan yang dilahap. Ketika masih di rumah, lingkar pertemanan saya semuanya berasal dari kalangan nahdliyin, dengan ritual, obrolan, dan kebiasaan yang mirip. Pagi sampai siang sekolah, sore main bareng kemudian habis magrib dilanjutkan ngaji di madrasah. Ditambah lagi dengan aktivitas ziarah, rutinan al-berzanji, dan istighosah.

Saya masih ingat, kali pertama saya  di Yogyakarta agak merasa inferior. Saya merasa kelabakan dan pontang-panting untuk mengimbangi obrolan ketika nongkrong bareng bersama teman-teman baru. Bahasa akademisnya, saya mengalami culture shock.

Lha gimana tidak, mereka yang datang dari Muhammadiyah misalnya, obrolan yang dibangun sudah merujuk pada buku-bukunya Buya Syafi’i Maarif, Haedar Nasir, Muslim Abdurrahman, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan juga kerap berakhiran –an, -isme, dan -tis. Sedangkan mereka yang dari salafi, ribuan kutipan hadist kerap dilontarkan ketika obrolan berlangsung. Beberapa teman saya yang nahdliyin, yang sudah belasan tahun mengenyam pendidikan di pondok pesantren tidak mau kalah. Mereka mengeluarkan argumentasi merujuk ke kitab kuning. Buku-buku Gus Dur, Gus Mus, atau Cak Nun kadang-kadang juga disinggung oleh mereka sebagai tambahan.

Dan saya hanya menjadi pendengar yang baik tanpa sedikit pun memberi kontribusi soal wacana yang tengah diobrolkan, kecuali hanya  “Oh begitu ya” atau “hmmmmm”. Bahkan saat itu, saya yang kepergok terlihat banyak makannya.

Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, saya memberanikan diri turut menyemarakkan diskusi dan silang wacana dari mereka ini. Saya menganggap bekal saya sudah cukup untuk tarung pendapat, memberi sudut pandang lain, dan menolak pernyataan mereka.

Dan untungnya lagi, banyak teman saya yang terbuka pemikirannya. Meskipun secara prinsip dan kecenderungan organisasi sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan ada teman saya, yang datang dari HTI (dan sejak awal bertemu saya sudah mengatakan kita tidak sepemikiran, kalau mengajak diskusi bisa). Dulu pernah saya tanya kenapa pindah haluan, padahal dulunya ia orang muhammadiyah. Katanya, “Saya memilih masuk sebagai HTI bukan karena saya kepincut dengan tujuannya mendirikan Negara Islam. Tapi saya menganggap HTI sebagai alternatif pemikiran yang tidak mainstrem.”

Pernah juga teman saya yang dari Muhammadiyah bercerita tentang kebiasaan di masyarakatnya yang cenderung mengikuti organisasi nahdliyin, hanya namanya saja yang berubah. Ia bertempat tinggal di selatannya Candi Prambanan. Katanya, “Di sekitar tempat tinggal saya itu, kalau ada yang dikhitan, aqiqahan, itu diganti jadi tasyakuran.” Saat saya tanya apa bacaannya, ia menyodorkan buku yang ukurannya lebih kecil dari buku biasa. Ketika saya buka, isinya dari awal sampai akhir persis seperti buku yasin dan tahlil warna kuning yang didaras oleh ibu-ibu di desa setiap malam Jumat atau Ahad . Persis sekali, bahkan sampai doa-doanya.

Senada dengan itu, menurut penuturan Mas Arif dari founder Secangkir Buku, di sekitar tempat kontrakannya yang ada di Kota Gede Yogyakarta juga mengalami kasus yang sama. Orang-orang sepuh di sana ketika malam Jumat berkumpul di satu rumah, kemudian membaca surat yasin. Ketika ditanya oleh Mas Arif tentang kebiasaannya itu, jawabannya agak mengagetkan. “Yang dibaca ini bukan tahlil mas, tapi surat yasin dan kalimat-kalimat thoyyibah”. Padahal kata Mas Arif, isinya juga sama. Bedanya hanya di awal, soal surat fatihah yang ditujukan hanya kepada Nabi dan kebaikan-kebaikan untuk semua umat Islam.

Ada juga teman saya Araf, seorang jurnalis yang sedang melakukan liputan di daerah Klaten sekitar dua tahun yang lalu. Di tengah-tengah tugasnya, ia mendapat narasumber yang terbilang unik. Usinya sudah sekitar delapan puluh tahun. Namun ingatannya masih kuat. Ia bekas seorang gerwani dari PKI dan beragama Kristen Katolik. Katanya, “Anak saya berkali-kali mengajak saya pindah ke Agama Islam. Tapi saya tidak mau, karena mau bagaimanapun hidup saya telah diselamatkan oleh Romo. Saya punya hutang budi dengan Romo. Kalau anak cucu saya mau memeluk Agama Islam, ya silahkan. Malah saya suruh.” Cerita ini mungkin bisa menjadi legitimasi bahwa hutang budi memang benar-benar bisa dibawa sampai mati.

Dari cerita-cerita seperti itu, sedikit banyak bisa membuat saya gembira. Bahwa kebhinekaan yang banyak ditulis di buku-buku sejarah yang hanya dibatasi suku, bahasa, dan sebagainya itu hanya klasifikasi dalam bentuk besarnya. Sedangkan dalam bentuk kecilnya, ya seperti cerita-cerita di atas itu. Keragaman memang patut dirayakan dengan semarak.

4 komentar:

spiritliterasi.com mengatakan...

Tulisan bergizi. Indahnya keanekaragaman.

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Terimakasih prof atas apresiasinya ...

Barit Fatkur Rosadi mengatakan...

Nongkrong asik bertemu dengan mereka yang berbeda, tapi tetap konco kenthel. Siiip

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak, leresss niku