Jumat, 23 Juli 2021

Manusia, Ilmu, dan Nilai Guna

Dalam setiap pembicaraan, manusia memerlukan ilmu agar pembicaraan yang disampaikan dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Dalam setiap tulisan, manusia juga perlu ilmu agar apa yang ditulis memiliki nilai guna bagi pembacanya. Dan dalam setiap hal, manusia memerlukan ilmu agar segala yang dikerjakan bisa selesai dengan baik.

Guru saya pernah memberi tips yang apik ihwal mencari ilmu. Katanya kala itu, “Coba buatlah target, setiap satu hari dapat satu ilmu baru. Apapun ilmu itu. Kalau kamu ajeg, maka dalam setahun kamu akan dapat 365 ilmu baru. Itu bilangan yang banyak untuk kita yang sering malas dan merasa kekurangan waktu untuk belajar”.

Tips itu memang terkesan mudah untuk diejawantahkan. Namun siapa sangka, untuk “keajegan” yang menjadi syarat mutlak dari tips tersebut, sulitnya minta ampun untuk dipelihara. Rencana yang matang  saja belum cukup. Perlu kesadaran dan seringkali pemaksaan agar satu hari satu ilmu dapat diperoleh.

Belum lagi jika diakumulasikan dengan gangguan keraguan. Mungkin dalam prosesnya kadang terbesit pertanyaan kenapa harus mencari ilmu yang belum tentu digunakan di kemudian hari. Seperti misal seorang anak yang suka dengan pelajaran sejarah harus mengais ilmu di pelajaran cara menanam tanaman cabai dengan baik dan benar. Atau mungkin diantara kita yang memiliki profesi sebagai pedagang kelontong, kenapa harus repot-repot membaca buku Etika Nikomakea yang ditulis filsuf kenamaan, Arsitoteles.

Bukankah kalau begitu, mencari ilmu yang tidak sesuai bidang menjadi semacam ajang buang-buang waktu?

Bisa jadi, iya. Akan tetapi kalau kita kembalikan pada pernyataan bahwa setiap manusia wajib mencari ilmu sejak dalam kandungan sampai liang lahat, laku seperti di atas tidaklah sia-sia. Toh, setiap ilmu memberi nilai kemanfaatan dalam takarannya masing-masing.

Di samping itu, apa saja jika digandengkan dengan ilmu, jatuhnya akan menjadi hal-hal baik. Orang berilmu yang disandingkan dengan kekayaan, kemungkinan besar akan melahir berbagai macam terobosan baru, karena modal yang dimiliki untuk memproduksi dan mengembangkan sudah tersedia. Berbeda jika orang kaya tapi ia tidak berpengetahuan, mungkin yang muncul justru keserakahan untuk menyingkirkan orang lain.

Begitupun orang berilmu jika digandengkan dengan kebebasan, bisa jadi akan melahirkan kebahagiaan dan atau sikap yang berani mengatakan benar. Namun jika kebebasan digandengkan dengan orang yang tidak berilmu, jatuhnya mungkin malah terjadi keonaran dengan dalih kebebasan yang dimiliki.

Atau jika orang berilmu disandingkan dengan kekuasaan, maka mungkin akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang adil bagi sesama dan semesta. Sebaliknya jika orang tidak berilmu memiliki kekuasaan, maka bisa jadi dua hal; ia akan dimanfaatkan oleh kepentingan yang sembrono atau menindas siapa saja yang ada di bawahnya dengan benteng kekuasaan yang dimiliki.

Dan bahkan jika orang berilmu ini mengalami kondisi kemiskinan yang akut, mungkin akan muncul jiwa-jiwa yang legowo, qanaah, dan menyikapi keadaan berat dengan lebih tegar. Tapi kalau orang sudah tidak berilmu kemudian miskin, maka bisa jadi malah akan memicu berbagai macam tindak kejahatan.

Dari sini bisa dilihat bahwa ilmu memiliki peranan yang signifikan dalam peradaban umat manusia, di mana saja dan kapan saja. Sebab hanya melalui ilmu, manusia bisa membedakan dirinya dengan ciptaan-Nya yang lain. “Maka, apa saja tekanan yang kamu alami, bagaimana buruknya kondisimu hari ini, dan sejelek apapun rupamu di mata orang lain, kamu harus tetap memiliki ilmu”, kata guru saya sebelum memulai pelajaran yang diberikan.

Salam mengais ilmu.

4 komentar:

naimatus mengatakan...

super sekali ...

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Terimakasih apresiasinya ...

Komsiyah611 mengatakan...

Trimakasih p.sugeng atas tambahan ilmunya

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Sama-sama ibu, nuwun apresiasinya.