Sabtu, 02 Oktober 2021

Jeda, Kerja, dan Warung Kopi


Malam itu, saya memutuskan untuk mengambil jeda, dari sekian kerja yang masih saya cicil belum seberapa. Jeda itu saya harapkan membawa aura, inspirasi, dan daya kreatif yang baru. Dan tentu saja, saya mengalamatkan pengusir jeda itu di warung kopi.

Menjelang tengah malam, saya bersama teman seasrama datang ke warung kopi. Kedatangan yang saya kira cukup larut, ternyata masih peroleh tempat duduk, pesanan, dan riuh-ramai pengunjung.

Mereka semua adalah para pemuda. Datang ke warung kopi dengan orientasi berbeda. Ada yang menggelar diskusi penting, bersua asmara, bermain game bersama, atau sekadar memberi jeda seperti yang saya lakukan.

Dari situ warung kopi malah menambah daftar nilai fungsi: tidak hanya sekadar tempat untuk nongkrong. Warung kopi telah menjelma menjadi wadah untuk mempertemukan sekian orang berusia muda, dengan latar belakang berbeda, dan kepentingan yang beragam. Semua diterima di warung kopi. Dan semua berterima dengan kopi, es teh, dan menu-menu lain di depannya.

Saat memilih tempat duduk, saya mengamati keadaan sekitar. Sebelah kiri tengah ada dua insan memadu asmara mesra. Sebelah kanan sekelompok pemuda menyuarakan gelora semangat revolusioner. Dan saya? Saya menikmati semua itu dengan senyum nyengir.

Sekelibat pikiran saya menujam ke masa silam. Ke masa kolonial yang dulunya, kopi disebut mutiara hitam. Banyak dicari oleh kolonial dengan mengajak penduduk setempat menanam paksa. Konon, kopi dulu seharga emas.

Dan di masa sekarang kopi merupa menjadi banyak rasa dan aroma. Sekian nama dialamatkan pada kopi, bergantung pada di mana dan seperti apa kopi itu diracik.

Pun begitu, warung kopi juga telah menjamur tidak hanya di kota, tapi juga merangsek ke desa. Kopi dinikmati dan memberi kontribusi.

Soal fasilitasnya? Jangan tanya lagi. Warung kopi memiliki sudut nyaman yang jarang ditemukan di sembarang tempat. Jaringan internet, tempat bermunajah kepada-Nya meski ala kadarnya, pemandangan yang ditata se-artistik mungkin, dan tentu saja menu yang memanjakan lidah namun kadang merampok isi dompet.

Tapi lepas dari itu semua, dua hal yang masih mengganjal saat saya ngopi. Hal pertama, kita melulu luput mengingat nasib petani kopi saat tegukan demi tegukan kopi dinikmati.

Dan hal kedua, jika warung kopi menjadi ruang bertemu banyak orang, tapi kenapa pertemuan itu hanya selesai pada teman yang kita ajak untuk menikmati kopi? Apa tidak ada kemungkinan di warung kopi itu, kita bertemu orang baru, menyapa dan bercerita seperti halnya semboyan negeri ini yang jumawa dengan slogan guyup rukunnya?

Salam mengopi.

Tidak ada komentar: