Selasa, 16 November 2021

Berbuku dan Berpahala

Sore kemarin ketika cuaca agak mendung, kami kedatangan tamu. Ia memiliki brengos, tapi sayang hanya didukung dengan perawakan yang kurus dan kepala agak botak. Saya mengenalnya dengan nama Mas Arif.

“Memang pandemi memisahkan kita”, selorohnya dengan tawa yang saya sambut dengan tangan meminta salaman. Ia menyambutnya. Tapi setelahnya ia merasa kikuk. Matanya menelisik ke seluruh ruangan dan berhenti pada satu botol, handsanitizer. “Nanti dikira ada apa-apa kalau egak pakai ini”, lagi-lagi disertai tawa.

Layaknya orang yang lama tidak berjumpa, kami mengudal berbagai obrolan. Topiknya tidak menentu. Loncat-loncat. Tapi yang pasti tidak jauh-jauh dari seputar kondisi perbukuan, utamanya di Yogyakarta sendiri.

“Egak ngadain pameran lagi mas?”, tanya salah satu dari kami.

Matanya menerawang jauh, seperti penembak jitu yang tengah berburu singa. Penembaknya sudah siap dengan seperangkat peralatan, namun tidak kunjung melepaskan tembakannya. Penembak itu ragu. Mungkin dalam pikirnya, jangan-jangan kalau saya tembak, entah kena atau tidak, singa itu malah akan berbalik menyerangku.

Sebagai lembaran seadanya untuk teman-teman, Mas Arif ini menjadi salah satu diantara empat orang yang menggagas gelaran Kampung Buku Jogja. Semacam pameran buku, namun diramu ala kehidupan kampung di Jawa yang melibatkan orang-orang penting di buku: penulis, penerbit, dan percetakan.

Kampung Buku Jogja ini yang kemudian menjadi acuan dalam gelaran  pameran buku di level nasional. Sebut saja misalnya festival Patjar Merah, acara Mocosik, dan gelaran Ketemu Buku. Penggagas dari semua even-even tersebut bermuasal dari mereka yang terlibat dalam pameran yang diselenggarakan Mas Arif dengan Kampung Buku Jogjanya.

“Ya nantilah mas, nunggu izin dibolehkan. Mungkin tahun depan digelar lagi di lembah UGM”, katanya dengan napas berat.

Pemilihan lokasi di lembah UGM itu memang mendukung untuk menggelar pameran buku bernuansa kampung. Di lembah UGM itu juga Mas Arif dan 3 orang temannya yang telah lepas dari IKAPI, menginisiasi adanya Kampung Buku Jogja. “Dulu ramai mas. Karena kan belum ada even-even buku seperti yang kami buat itu”, katanya.

Di dalam Kampung Buku Jogja itu pengunjung tidak diwajibkan membeli buku. Mereka bisa hanya sekadar datang untuk mengisi waktu luang. Melihat-lihat buku, tanya harga, difoto, atau malah selfi sekarepnya. Mas Arif tidak mempermasalahkannya. Baginya, asal orang itu mau datang ke pameran buku, berati dirinya masih tertarik dengan ilmu pengetahuan.

Saya sendiri mengikuti gelaran Kampung Buku Jogja ini dua kali. Tapi sayang, lokasinya tidak lagi di lembah UGM. Tapi sudah pindah di Gedung PKKH UGM. Tempatnya lebih enak dan nyaman, tapi sama sekali tidak ada nuansa kampung. Sebaliknya, malah terkesan buku berbalut gairah elit perkotaan.

Karena katanya Gedung PKKH UGM ini tengah diratakan, entah akan diperbarui bangunannya atau dibangun gedung dengan fungsi lain, Mas Arif memilih kembali ke asal. Ia rencananya akan menggelar Kampung Buku Jogja lagi di lembah UGM. Dan kami manggut-manggut. Anggap saja itu sebagai tanda mufakat.

Ada satu hal menarik lainnya yang saya rasa banyak orang berperan sebagai pelaku, tapi tidak menyadari perbuatannya itu. Begini. Mas Arif ini usianya tidak lagi muda. Ia sudah menginjak usia kepala empat.

Konon dalam ilmu psikologi Islam dan beberapa riwayat dari literatur yang pernah saya baca, seperti apa orang itu akan menjadi tua, ditentukan di usianya ke 40 tahun. Karena di usia itu, manusia sudah kenyang asam garam dan melalui banyak jalan sehingga, ia akan membuat pegangan bagi dirinya sampai usia senjanya.

Usia 40 tahun sendiri dalam Islam merupakan tanda Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu pertama surah al-Alaq ayat 1-5. Di situ Kanjeng Nabi Muhammad disuruh membaca Malaikat Jibril, namun tidak bisa membacanya. Lantas dituntun dan terbaca yang artinya sendiri memuat kata-kalimat baca dan bacalah.

Oleh sebagian cendekia muslim, wahyu pertama itu ditafsirkan sebagai peringatan bagi manusia untuk kembali mengenal dirinya seperti apa dan mau ke mana. Jika di usia 40 tahun masih menjadi guru, boleh jadi itu menjadi jalan dirinya sebagai penutur ilmu agar lebih dekat dengan-Nya melalui laptop dan buku. Jika di usia 40 tahun tetap menjadi petani, boleh jadi jalannya untuk mendekatkan diri adalah cangkul dan sawah.

Memang terkesan rumit. Tapi poinnya ada pada setiap pekerjaan yang ditunaikan di usia 40 tahun, bisa jadi akan membawanya untuk mengenali jati dirinya dan jalan untuk mendekat kepada-Nya.

Nah, bagi Mas Arif yang taat bergeliat di tumpukan buku-buku itu berkata, “Aku tak di buku aja. Mungkin aja ini jalanku mas. Toh, di buku itu banyak ilmu. Dan katanya guru ngajiku dulu, orang yang berjalan di jalan ilmu akan diampuni dosanya.” Kali ini perkataannya tidak disertai tawa. Tapi sorot matanya tajam memandang ke depan.

Ya, berbuku dan berpahala.