Mulanya saya mengenalnya dengan sebutan gendut. Karena setiap kali saya melenggang ke angkringan untuk nongkrong atau makan malam, saya mesti melewati gerobak roti bakarnya. Saya atau teman yang saya bonceng mesti memanggilnya, “Gennnddduuuutttt...”. Ia membalasnya dengan lambaian tangan diiringi teriakan, “Oooeeee...”.
Bahkan ketika saya membeli roti bakarnya, entah untuk kebutuhan rapat atau sekadar camilan ketika ada tamu, saya hanya bisa pasrah. Karena saya pernah membeli roti bakarnya dengan memilih rasa ini dan itu yang saya sesuaikan dengan uang yang ada di saku. Ia mendengarkannya, namun ia membuatnya tidak sesuai dengan pesanan. Setelah selesai, ia mengkalkulasi dengan total sekian yang melebihi uang yang saya bawa. Saya sudah siap dengan ucapan untuk membayar seadanya, sisanya dibayar nanti. Namun dengan entengnya ia menyebut, “Totalnya 40 ribu.” Dalam hati, beneran ini?
Saya baru mengenal nama dan latar belakangnya saat tadi malam kami mengudal obrolan empat mata. Ia kadang memang mampir ke asrama, jika dagangannya ludes sebelum tengah malam. “Ya ndolani kanca lah”, katanya dengan aksen ngapaknya. Ia berasal dari Kebumen.
Pembawaannya riang. Kerap saya perhatikan ia berkata lantas disertai tawa setelahnya. Karakter seperti ini di Tulungagung disebut dengan supel. Ya semacam orang yang tidak hanya bisa membaur, tapi juga bergaul dan mudah beradaptasi menyesuaikan kondisi di sekitarnya.
Yang saya kagetkan darinya adalah, ketika ia pernah menjadi mahasiswa, ia terlibat dalam jajaran kepengurusan KAMMI. Tidak hanya sebagai anggota, tapi juga sebagai orang yang dituakan di situ. Kendati dalam ceritanya tadi malam, ia ikut itu karena dinilai oleh dosen pembimbing akademiknya berpakaian rapi dan memiliki kesan saleh. Saya menahan tawa sambil bergumam tidak percaya, “temenan mas?”
Bagi sebagian kalangan akademisi, KAMMI ini dinilai sebagai sayapnya PKS. Sebuah partai yang ideologinya kanan. Di setiap kampus, utamanya di Jawa Tengah, Yogyakarta, terus ke arah barat dan kampus-kampus di luar Jawa, anggotanya relatif cukup banyak. Kalau di Jawa Timur saya rasa masih kalah jauh dengan nahdliyinnya.
Nah di situ ia bercerita mengenai sepak terjangnya ketika masuk menjadi bagian dari KAMMI. Ia benar-benar tidak tahu istilah dan berbagai kegiatan ini dan itu yang kerap disuara-edarkan oleh kelompok mereka. Bahkan statusnya sebagai rois masjid pun ia tidak tahu asalnya dari mana. Sebab ia merasa tidak pernah menjadi pengurus masjid selama hidupnya. “Kalau teman dan main-main ke masjid kayak gini, sering aku”, katanya.
Kendati ia pernah menapaki kepengurusan tertinggi di KAMMI, saya merasa ia seperti orang nahdliyin pada umumnya. Bukan dibuat-buat, tapi memang ada beberapa hal yang mendasarinya.
Pertama, saat di Kebumen dulu, ia pernah nyantri dan ngaji di madrasah diniyah. Meskipun keduanya ia lakukan tidak sampai rampung karena alasan membolos dan semacamnya. Selain itu, budaya sejak kecil di lingkungannya lekat dengan tradisi warga nahdliyin. Latar belakang ini menjadi pondasi yang cukup kuat melekat di dalam dirinya.
Lalu yang kedua, ia merupakan mahasiswa sastra Jerman. Ia gandrung membuat dan mendengar puisi, meski namanya tidak kondang. Ia gembira saat ada pementasan atau kegiatan yang berkenaan dengan sastra. Maka karakter anak sastra yang jika belum edan belum bisa disebut sastrawan, pernah ia lakoni. Ditambah lagi dengan karakter aslinya yang supel itu tadi. Lengkap sudah ia menjadi orang edan. Eh bukan, maksudnya pondasi lapis kedua yang membuat dirinya sulit untuk masuk ke organisasi yang sedikit-sedikit haram, dan seterusnya.
Terakhir, kendati ia masuk ke KAMMI, namun mayoritas temannya adalah alumni pondok pesantren di Jawa Timur. Sebut misalnya Lirboyo, Tebuireng, Mambaul Hikam, Tegalsari, dan semacamnya. Dan semua temannya dari pondok pesantren ini tahu jika dirinya terlibat dalam jaringan KAMMI. Layaknya orang nahdliyin yang senang guyon, ia mesti jadi bahan guyonan. Tapi ia tetap merapat jika diajak ngopi, shalawatan, dan ziarah.
Tidak terasa obrolan kami sampai dua jam. Tapi karena pembawaannya lucu, saya betah-betah saja. Misalnya saja, ia pernah diceramahi oleh pembeli roti bakarnya bahwa Islam itu harus begini-begitu. Ia hanya mengangguk pelan. Pembeli itu datang lagi, ia ceramah lagi. Begitu seterusnya. Ia menghitung sudah sebanyak lima kali.
Ceramah itu akhirnya berhenti ketika tanya, “Mohon maaf mas, mas ini Islamkan?”
Ia menjawab lirih, “Ngapunten pak, sanes.”
“Astagfiullah, lha terus apa mas? Kristen, Hindu, Budha...?”, tanya si penceramah dengan raut wajah yang masih kaget dan penasaran.
“Mohon maaf, bukan juga pak.”
“Lha terus apa? Kalau Islam bukan, Kristen bukan, Hindu bukan, Budha juga bukan”, raut wajah si penceramah yang hendak mengalamatkan tuduhan ke ateis.
“Saya Arfin pak”, jawabnya polos. Dan Arfin itu adalah nama yang saya samarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar