Jumat pekan kemarin seperti biasanya, saya bertugas menjaga parkir di depan. Bagian saya tepat di depan gerbang untuk mengarahkan ke mana jamaah yang datang harus parkir, mematikan mesin motor, dan menegur jamaah yang tidak membawa masker.
Terkadang saya ditemani oleh Pak Satpam. Sebut saja namanya Pak Dar, atau kami memanggilnya dengan sebutan komandan. Sebab ia memiliki perawakan yang tegap, tinggi, berkulit sawo matang, dan tatapan mata yang garang. Saya rasa sesuai dengan profesinya yang dimestikan pasang badan ketika ada masalah.
Sedikit cerita pertemuan saya dengannya yang terjadi sekitar dua tahun lalu. Saat itu ia hendak mendaftarkan putranya untuk ngaji Al-Qur’an. Ia bertanya kapan saja waktunya ngaji, dan bayar berapa untuk seragam dan bulanannya. Tapi obrolan berubah ketika ia bercerita bahwa pekerjaannya sebagai guru di SMP Negeri 1 Bantul. Ia juga bercerita pernah menangkap orang yang menggelapkan motor kakaknya. “Kenalan saya kan banyak yang polisi mas. Ya udah saya lapor. Kalau mereka tidak mau, lantas apa fungsinya mereka jadi polisi?”, kira-kira begitu dialog yang saya ingat.
Awalnya saya tidak merasa curiga. Namun lama-kelamaan saya menjadi bertanya-tanya. Dalam hati, katanya kemarin jadi guru, tapi setiap saya berangkat kuliah pagi jam 8, ia masih enak nongkrong di warung depan sama bapak becak? Bukannya guru harus masuk pagi, chek lock dan semacamnya?
Pertanyaan saya itu baru terjawab beberapa bulan kemudian ketika ia pagi-pagi membangunkan saya. “Mas, kunci gerbang sebelah utara di mana?”
Dengan mata yang masih berat terbuka, saya menanyainya untuk apa meminta kunci gerbang pintu sebelah utara? Ia malah menjawabnya karena telah diperintah pimpinan. Dengan dongkol dan agak bertanya-tanya dalam batin, pimpinan sapa emangnya?, saya memberinya kunci itu.
Mulanya kami agak jengkel juga, sebab ia merasa berkuasa dengan jabatannya sebagai satpam. Di awal, ia keluar masuk tanpa permisi ke kamar kami. Ia juga mengambil gelas dan piring tanpa mau mencuci setelah kotor dipakai. Untung saja ada satpam satunya lagi yang mau menegur, sebelum kami dudukkan dan mengajak ngobrol mengenai apa saja kerja yang mesti ia lakukan dengan wilayah mana yang seharusnya tidak ia jajaki dengan semena-mena.
Nah, Jumat pekan lalu ia menemani saya parkir di depan gerbang. Seperti biasa, ia selalu memulai percakapan dengan sekian dzikir yang dilakukan setiap malam. Entah tasbihnya yang hilang, bacaannya apa saja, atau berapa yang telah ia baca. Ia juga mengaku setiap kerja selalu menunaikan salat dhuha, meskipun saya belum pernah sekalipun memergoki dirinya melakukan itu.
Tapi obrolan Jumat pekan lalu berbeda. Katanya, masjid ini pernah didatangi oleh polisi yang menanyakan mengenai penyelenggaraan salat Jumat. Polisi itu bertanya kenapa jarak salatnya terlalu dekat? Ia menjawab itu sebagai keharusan orang yang sedang salat.
“Sekarang begini pak. Bapak takut sama atasan bapak apa sama Allah? Atasan bapak mungkin hanya memberi gaji untuk makan, tapi Allah kan memberi semuanya. Tanpa ada Allah, bapak tidak bisa jadi polisi. Masak orang salat hanya berdekatan sedikit saja sudah tidak boleh”, ia menjawab demikian.
Saat saya tanya bagaimana responnya polisi tersebut, dengan nada rada percaya diri ia mengatakan, “Oh iya Pak Dar. Maap, maap”. Sembari ia memperagakannya dengan tangan.
Mendengarnya saya hanya tersenyum geli. Memang ucapan yang disampaikan ada benarnya. Bahwa dengan kuasa-Nya, manusia tidak bisa menjadi apa-apa. Bahkan dengan kuasa-Nya juga, manusia dapat naik ke pangkat tertinggi atau jatuh di dasar terdalam.
Hanya saja saya agak menyangsikan saat ia berani menjawab seperti itu. Ia mungkin hanya membual. Simpulan saya itu berangkat dari banyak kejadian yang pernah saya pergoki dengan mata telinga saya langsung. Ia pernah didamprat oleh salah satu wali murid karena memindahkan motornya. Padahal ia memindahkannya di tempat yang lebih teduh dan tidak mengganggu kendaraan lainnya. Ia tetap kena marah dan diam saja. Tanpa ada perlawanan membantah atau meluruskan. Ini kejadian kecil saja. Terlepas dari itu, saya rasa ia lebih cocok untuk menambah profesi selain sebagai satpam: tukang dongeng.
Persis seperti yang ditulis Ria Fitriani di bukunya Senandika Yaya (2018). Tulisnya di buku itu: “Membual hanya bisa dilakukan oleh orang yang berbakat. Jelas tidak semua orang dilahirkan dengan bakat itu.”
Lantas, bualan apa yang sudah kita dengar hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar