Kamis, 09 Desember 2021

Momentum dari Seorang Teman

 

Kemarin malam ketika cuaca tengah ragu-ragu, kami kedatangan tamu yang telah pasti melabuhkan jejak akademiknya ke level tertinggi. Ia datang untuk memberi kabar gembira. Kami pun juga gembira mendengarnya.

Saya sendiri belum terlalu akrab dengannya. Hanya terhitung dua kali saya kontak fisik langsung: berjabat tangan, ngopi, dan ngobrol duduk bersandingan.

Pertemuan pertama dengannya terjadi saat timnas Indonesia bermain. “Kalau pertandingan lain aku egak apa-apa kelewatan, tapi kalau timnas main, aku mewajibkan diri untuk menontonnya. Entah nanti hasilnya menang, imbang, atau kalah. Syukur-syukur ya bisa menang”, tandasnya sambil menyeruput kopi panas.

Pertemuan kedua terjadi tadi malam. Ia akrab dikenal sebagai Kang Azis Sayuran karena, profesi utamanya adalah penjual sayur. Kendati profesi itu kerap dianggap enteng, tapi jangan salah, ia telah menamatkan kuliah pascasarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ia juga yang banyak membantu banyak teman, terutama komunitas literasi di Yogyakarta untuk menyuplai kebutuhan sayur dan lauk bergizi di masa pandemi. Baginya, mendaras ilmu di bangku kuliah tidak serta merta mengabsenkan dirinya untuk bekerja. Sebaliknya, bekerja itu juga jadi lahan untuk mengaplikasikan segala teori dari tumpukan buku mengenai laku hidup yang arif, berbaur dengan siapa saja, dan menjalin relasi dengan teman baru.

Ia mungkin salah satu sosok yang membuktikan bahwa tembok kampus tidak terlalu tinggi untuk diketahui orang awam. Ia juga membantah kalau kampus itu bak menara gading yang melulu direpotkan dengan buku, teori, dan mendaku pandai namun berjarak dengan masyarakat akar rumput.

Profesi sampingannya adalah sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Arab ke bahasa Indonesia. Ia belajar bahasa itu dengan otodidak. “Dengerin aja film selama dua jam. Paham kagak paham, dengerin aja. Setiap hari. Kalau sudah terbiasa, baru belajar grammar-nya”, katanya memberi tips belajar bahasa dengan cara otodidak.

Oh iya, kabar gembira tadi adalah ia diterima dan mendapatkan beasiswa di Utrecht University, Belanda untuk studi doktoralnya. Secara bersamaan, ia juga diterima di Australian National University (ANU) di Australia. Namun ia lebih memilih ke Belanda daripada ke Australia, meskipun secara level universitas, Australia lebih tinggi. Ia mendasarkan pilihannya itu pada minat studinya tentang gerakan tokoh Islam di masa kolonial.

Sejak mahgrib sampai jam setengah dua belas malam banyak terjadi obrolan menarik darinya. Saya hanya menimpalinya sesekali. Sepanjang obrolan itu, saya hanya menangkap satu nasihatnya-kalau bisa disebut begitu.

Katanya, “Aku percaya setiap orang pasti memiliki momentum. Cuma banyak orang yang egak percaya dengan momentum itu. Momentumkan titik temu antara persiapan dan kesempatan. Kadang kesempatan itu ada, tapi karena kita kurang persiapan, akhirnya momentum itu hilang. Ada juga yang sudah persiapan, tapi kesempatan itu lama sekali datangnya. Kalau dirinya masih sabar menunggu kesempatan itu, mungkin dirinya akan jadi. Tapi kalau tidak, akhirnya ya menganggap apa yang telah disiapkan itu sebagai perbuatan yang sia-sia.”

Saya terdiam dan mematri ucapan itu dengan dalam, sembari membayangkan banyak sekarang orang yang sukses dengan perjalanan lika-liku selama puluhan tahun. Ada yang naik daun meski baru sebentar bergelut di bidangnya, namun juga terlalu cepat untuk gulung tikar. Dan seabrek contoh-contoh bersliweran yang saya bayangkan.

Ucapan itu mungkin berkaca dari dirinya sendiri yang telah mempersiapkan diri bertahun-tahun untuk melanjutkan studi, lantas ada kesempatan, dan ia memberanikan diri untuk menyongsong momentumnya sendiri.

Dalam hati saya hanya berdoa, semoga momentumku itu egak cuma sekali, tapi berkali-kali. Hehehe.

Tidak ada komentar: