Senin, 08 November 2021

Jejak Cerita; dari Mengkreng, Dangdut, ke Wali

Malam kemarin saya bersama teman seasrama mengudal obrolan sederhana di depan ruang baca. Di situ memang ada kursi panjang, meja, dan alunan lembut sentuhan udara malam yang tidak disertai suara bising. Jadi enak untuk tempat ngobrol, selepas shalat isya tentunya.

Tanpa dinyana, Jumhur, alumni paling kocak nir perasaan tertuduh datang. Ia dulu pernah berdomisili di sini, di asrama. Ia lahir, besar, dan berbudaya Pemalang khas dengan bahasa ngapaknya. Tubuhnya ramping, tapi tidak dengan usianya yang sudah menginjak kepala tiga.

Pertama kali saya bertemu dengannya saat duduk di semester awal. Kejadiannya lucu. Rencananya ia kepingin masak. Kebetulan saya ada di dapur tengah mengaduk kopi. Saya yang belum tahu banyak bahasa kecuali bahasa Jawa dan Indonesia dilempar pertanyaan olehnya, “Mengkrenge di mana Geng?”

Spontan wajah saya kikuk. Mengkreng? Apa itu mengkreng? Bahasa yang benar-benar baru mampir di telinga saya. Dengan polosnya saya menduga oh mungkin pisau untuk memotong sayur, sebab di dapur saat itu tidak ada pisau yang terlihat. “Di atas meja dekat galon mas”, jawabku sekenanya.

Ia keluar menuju meja galon dan mencari mengkreng. Beberapa saat ia memprotes saya karena tidak menemukannya. Saya lantas menghampirinya dan mengambil pisau dapur lalu berkata, “Ini mengkreng kan mas?”

Ia malah tertawa, merayah pisau dapur itu, dan mengumumkan kekikukan saya di depan teman seasrama. Mereka tertawa semua. Dan saya menunduk malu sejadi-jadinya. Haruse saya tadi bilang aja egak tahu, batin saya. Ternyata mengkreng itu cabai. Bahahahaha.

Konon, dulu saat ia tinggal di asrama, pengetahuan mengenai dangdut dan penyanyinya melebihi usianya. Ia hafal sekian judul, penyanyi, sekaligus tahun booming. Setiap hari ia memutar dangdut, tanpa aba-aba dan jeda. Ia gila dangdut, tapi jarang bergoyang.

Bahkan diriwayatkan ia pernah membeli laptop canggih pada masanya. Padahal beberapa teman di asrama hanya memiliki laptop kecil yang cukup untuk mengetik, mendengarkan bebunyian, dan macet saat menonton film. Beberapa yang belum punya malah harus berebut menggunakan komputer asrama untuk mengerjakan tugas kuliah. Tapi Jumhur lain. Ia membeli laptop itu untuk mengoleksi dan mendengarkan lagu dangdut, karena memori di handphone miliknya tidak mencukupi. Bahahahaha.

Satu lagi yang perlu saya ceritakan ketidaklazimannya. Bagi banyak orang ketika sampai ke perguruan tinggi, cita-cita yang hendak dikejar tidak remeh-temeh. Ada yang ingin menjadi guru, pengacara, dosen, rektor, peneliti untuk pemerintah, dan sekian pekerjaan elit yang menjajikan kesejahteraan pangan keluarga-kerabat. Saya pun juga demikian.

Lagi-lagi Jumhur memiliki cita-cita alternatif yang tidak dipikirkan banyak orang, cendekiawan, bahkan kyai sekalipun. Cita-citanya terlampau tinggi. Saking tingginya, saya ragu ia sudah menggapainya atau belum. Ketika ia ditanya cita-citanya apa, ia dengan mantab, tegas, jelas, dan trengginas menjawab, “Saya kepingin jadi wali.”

Sontak membuat semua orang ketawa terpingkal-pingkal, termasuk saya yang hanya mendengarnya dari cerita. Saat ditanya kenapa kok ingin menjadi wali, ia menjawab lagi, “Ya kalau jadi wali, mau minta apa saja, bisa cepet (ter)kabulnya.”

“Pilihanmu cuma dua kalau jadi wali. Wali murid atau walikane (kebalikannya)”, imbuh yang lain. Bahahahaha.

Tapi saya meyakini ia memang wali. Sebab sejak saya kali pertama bertemu dengannya  sampai kemarin malam dengan sekian objek tertawa darinya, ia tidak lantas marah. Wajah yang sinis, kecut, dan alis mengkerut juga tidak terlihat padanya. Ia tetap gembira seperti biasanya.

Hanya saja anggapan saya bahwa ia sebagai wali mungkin dibantah Gus Dur. “Orang yang tahu orang lain wali, berarti dirinya juga wali.” Dan saya sendiri hanya orang awam yang tergabung dalam sekelompok masyarakat biasa. Tidak lebih.

Jumhur menginap semalam di asrama. Ia sekarang menjadi tukang jahit di sebuah perusahaan konveksi, di Pekalongan. Kedatangannya sekaligus mempromosikan hasil jaitannya yang saya kira cukup bagus dan rapi.

Sebelum menulis ini saya sudah berpamitan dengannya bahwa, beberapa momen kocak akan saya tulis. Ia juga saya beritahu di mana ia dapat membaca dirinya dalam versi tulisan saya. Mulanya saya mengira ia akan marah. Namun ia malah menjawab, “Kalau kurang, whatsapp saja Geng.”

Ia kemudian pamit, dan saya masih tertawa sembari rada mengumpat, wooo asyemm!!!

Tidak ada komentar: