Setiap balik ke Tulungagung, saya mesti menyempatkan untuk ngopi. Selain terperangkap dengan konstruksi budaya yang telah mengakar kuat, ngopi juga menjadi sarana untuk bertemu teman lama, berdiskusi, atau sekadar memberi kabar cerita lokal yang hangat yang tidak saya peroleh di lokasi perantauan.
Sebelum ke situ, saya ingin memberi penegasan mengenai tidak semua warung kopi yang ada di Tulungagung pernah saya kunjungi. Warung kopi ‘pangkon’ dan berkaraoke menjadi warung kopi yang paling saya hindari, kendati keberadaannya tidak pernah saya tolak apalagi kecam. Sebab banyak orang di sekitar kita yang dengan memuaskan sisi seksualnya, baru merasa hidupnya aman dan bahagia. Itu pilihan mereka. Meskipun adanya warung kopi ‘pangkon’ ini nanti juga akan terhalang tembok besar berupa norma sosial dan aturan agama.
Saya juga jarang datang ke warung kopi yang di situ ada banyak orang tua. Di Tulungagung memang bisa dibedakan antara warung kopi yang dijadikan tempat nongkrong orang tua dengan anak muda. Pembedaan itu terlihat dari ketersediaan wifi, pengunjung yang datang, obrolan yang disuarakan, dan konflik yang dimunculkan.
Mungkin hanya warung kopi Pak Jupri di Desa Purwerojo, Ngunut yang kerap saya kunjungi sewaktu masih bergerak ke sana-ke mari menjadi aktivis IPNU IPPNU. Itu pun saya mesti datang kelewat jam 10 malam, saat para orang tua sudah mulai balik ke rumah untuk istirahat dan memulai kerja keesokan harinya.
Satu lagi, warung kopi yang jarang saya kunjungi di Tulungagung adalah warung kopi elit yang letaknya di kota, ada barista, dan tersedia beraneka kopi beraroma. Sebutan elit ini hanya sebagai pembeda dari sisi harga, pengunjung yang datang, dan terkadang rasa kopinya. Sejauh yang saya ingat, saya belum pernah mampir ke warung kopi jenis ini di Tulungagung. Kalau di Yogyakarta, beberapa sudah pernah saya kunjungi.
Nah, kembali ke atas mengenai kabar lokal yang hangat yang tidak saya dapati ketika di perantauan. Kabar lokal di sini tidak mengarah pada ranah politik, sosial, ekonomi, atau sejarah di Tulungagung yang belakangan sibuk rebutan klaim gelar bangsawan. Tapi kabar itu menyasar ke budaya masyarakat yang lamat-lamat mulai terkikis.
Mudahnya saya menyebut sebagai budaya saling percaya. Budaya ini nanti juga berimplikasi pada laku seseorang dalam bersosialisasi dengan teman, keluarga, juragan, dan masyarakat luas.
Sebut saja Aak, teman saya yang sewaktu di aliyah gemar ngeband, meski tidak pernah menyabet gelar juara sekali saja. Setelah lulus dan kuliah, saya memang belum pernah bertemu dengannya secara terencana. Paling mentok hanya menyapa dengan tidak sengaja. Itu pun berlangsung hanya dalam hitungan menit.
Satu lagi temannya Aak yang lebih akrab dengan saya adalah Aam. Aam ini orangnya agak konyol dan mudah bergaul. Ia juga kerap ngopi bersama dengan saya dan teman-teman yang lain. Ia salah satu jebolan kelas IPA namun banyak terbulli oleh teman-teman di kelas IPS.
“Lho pernah si Aak itu ngajak ngopi pagi. Kan tak tawarin, mau ngetan apa ngulon? Ia bilangnya ngetan, sekaligus mau ke kampus nantinya. Ya wis aku berangkat kan. Terus sampai di lokasi, orangnya tak chat malah bilang kalau ia udah ngopi ngulon. Kan megelne udel”, ucap Aam mengabarkan kekesalannya.
Dari pembukaan obrolan itu, kejadian lain serupa ternyata juga pernah dialami teman-teman saya yang lain saat diajak ngopi dengan Aak ini. Ada yang ditinggal di warung kopi sendirian karena si Aak kencan, ada yang dipinjami uang tapi tidak balik, ada juga yang di-ndobosi cerita, dan ada yang pacarnya ditikung tajam oleh Aak. Saya hanya terkekeh mendengarnya.
Saya sadar bahwa cerita itu bisa jadi benar. Tapi yang pasti, cerita-cerita yang saya dengar tadi terlalu banyak bumbu yang dimasuk-sesuaikan. Kendati begitu saya menikmatinya sebagai proses budaya ngopi yang mungkin lebih baik mengobjekkan seseorang dari pengalaman yang didapat dengannya, daripada harus sibuk bermain gawai masing-masing.
Sepulang ngopi lamat-lamat saya menerka bahwa mungkin, apa yang saya dengar tadi mengenai si Aak, baik personnya maupun cerita tentangnya adalah narasi terkikisnya budaya rasa saling percaya. Hanya saja saya mengalami sikap yang agak ambivalen di situ. Kenapa saya kok juga memercayai cerita yang mungkin cenderung bualan mengenai si Aak itu sendiri?
3 komentar:
Ngopi menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat pak.
Enggeh, setuju pak. hehehehe
Pun nate mampir warkop cethot nopo dereng nggih...😅😅😅
Posting Komentar