Barangkali burjo menjadi salah satu alternatif lokasi makan yang favorit bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di Kota Yogyakarta. Bahkan mungkin lebih dari itu, burjo juga sebagai lokasi yang jadi tujuan nongkrong bagi para ojol, pelajar, mahasiswa, dan pekerja lainnya. Tanpa disadari burjo memberi ruang bagi siapa saja yang singgah, sekalipun terkadang ngutang.
Tidak jauh dari asrama yang saya tempati, ada burjo dengan tampilan dan fasilitas seadanya, yang berada di antara himpitan makan dan minuman elit dalam satu deret ruko dari utara ke selatan. Televisi dan kipas angin di burjo itu hanya pajangan tanpa bisa difungsikan. Pun tempat duduknya hanya cukup untuk 10 orang saja. Selebihnya duduk di depan, atau kalau malam bisa lesehan di ruko sebelahnya yang sudah tutup.
Saya sendiri bisa dikatakan sebagai penghuni asrama yang kerap melahap makanan di burjo itu. Kendati rasa dan menunya itu-itu saja, tapi ya lumayanlah. Harganya agak murah, porsi banyak, dan terkadang saya ngutang karena uang yang saya bawa ternyata kurang. "Ya itu andalan saya bang. Kalau tengah malem laper, saya pergi ke burjo", kata teman saya yang baru 4 bulan merantau di Yogyakarta. Dan saya sangat mengamininya.
Usut punya usut, sekali waktu saya pernah ngobrol panjang lebar tentang bisnis perburjoan di Yogyakarta. Pada dasarnya mereka yang berjulan di burjo adalah perantau dari daerah Kuningan, Jawa Barat. Makanya tidak asing ketika pembeli memanggilnya dengan 'aak', sebutan 'mas' kalau di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Dulu sebelum pandemi ya ak, banyak yang punya burjo itu sampai bisa bangun rumah. Rata-rata di kampung saya yang ngrantau di Yogya terus buka burjo, pada sukses semua. Makanya di (daerah) Kuningan, banyak yang milih ke sini jualan makanan ketimbang ke Jakarta. Biaya hidupnya murah sini juga sih", kata si aak burjo.
Memang burjo-burjo yang dikelola oleh orang-orang dari daerah Kuningan ini baru beroperasi kembali kurang dari setahun, terhitung mundur dari bulan Januari 2022. Meskipun tetap ada juga beberapa burjo yang kekeh buka dengan aturan ketat di masa-masa itu. Tetapi lebih banyak yang memilih tutup lantas pulang dan bekerja seadanya. Mereka tidak sanggup membayar uang sewa ruko. "Tidak sedikit ak, orang-orang di kampung saya yang gulung tikar", tandasnya.
Dan saya baru tahu sekitar beberapa hari yang lalu bahwa, pengelola burjo dari satu tempat ke tempat lain ternyata berbeda-beda. Burjo di samping asrama saya itu pemiliknya dua orang. Mereka menggunakan giliran per dua bulan untuk mengelola burjo tersebut. Begitu seterusnya.
Saya tidak tahu pasti bagaimana sistem upah kerjanya, tapi yang jelas biaya sewa ruko terutama, saya rasa bisa lebih ringan bila diangkat dua orang ketimbang dikelola sendiri.
"Kenapa aak tidak milih kerja di rumah aja? Kan deket tuh dengan keluarga?", selidik saya.
"Ya gimana ya ak, di rumah itu kalau egak jadi petani ya jadi buruh kuli kasar itu. Gajinya kagak seberapa ak. Bagi kami itu egak cukup untuk kebutuhan hidup keluarga kami. Apalagi sampai sekarang belum ada yang membuktikan kalau kerja jadi tani atau buruh bisa kaya, bisa sukses. Kalau ngrantau ke sini, buka burjo atau ikut kayak saya ini, banyak yang berhasil", jawabnya dengan mimik wajah yang jujur. Setidaknya dalam pengamatan saya selama ia berbicara.
Ya bagaimana pun, dalam kehidupan nyata, orang yang berhasil dalam bekerja selalu menjadi ukuran untuk dikejar. Minimal sepadan. Kalau ada tetangga yang sukses merantau ke luar negeri, dalam beberapa tahun kemudian, ada sekian orang yang turut ikut merantau. Begitu juga dalam kasus lain misalnya, tahu kalau ada teman yang punya penghasilan banyak karena mengelola akun YouTube, lantas semua pada membuat akun YouTube.
Tetapi, apakah dunia kerja sampai bisa dikatakan sukses dan berhasil itu mesti memakai ukuran kaya, harta, dan bisa beli ini-itu? Ah saya kira tidak sesempit itu pemaknaan kerja yang sebenarnya. Meskipun pilihan seperti kasusnya aak burjo tadi juga tidak terlalu salah untuk ditunaikan. Kira-kira begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar