Di masa kecil, kita kerap mendengar mitos-mitos yang bergelanyut dan serasa hidup di sekitar kita. Mitos-mitos itu di satu sisi menciptakan nuansa magis yang mesti ditaati supaya terhindar dari bala bencana. Di sisi lain, mitos itu juga menjadi cikal dari cerita yang dituturkan secara turun-temurun dengan banyak sempalan, imbuhan, dan aneka diksi menyeramkan atau kebajikan.
Tetapi seturut dengan usia kita, mitos-mitos tersebut menjadi cerita yang lebih rumit. Tidak hanya karena ketidaktahuan mengenai benar dan salahnya mitos tersebut, tetapi lebih dari itu, mitos-mitos tersebut justru kita benturkan dengan pengetahuan dan pengamalan pengetahuan yang telah terakumulasi selama kita duduk di bangku pendidikan atau terjun ke masyarakat luas.
Misalnya saja, rumah saya di kampung halaman berdekatan dengan punden. Masyarakat kami memaknai punden sebagai tempat angker berkumpulnya para jin dan dedemit. Anggapan tersebut ternyata juga didukung dengan kondisi punden yang ditumbuhi pepohonan berbatang besar, gelap, banyak daun berguguran, dan beberapa kali kami melihat dari kejauhan ada barang berbungkus kain putih disertai kemenyan yang diletakkan di tengah-tengah.
Saya kecil tidak berani melintasi jalan di depan punden jika tidak ada orang yang membersamai lewat, baik dari arah yang sama maupun yang berlawanan. Bahkan di siang hari saat matahari berpendar dengan terik menyengat kulit, saya dan teman-teman selalu lari ketika melintas di depan punden. Karena hanya itu jalan satu-satunya yang menuju ke sekolah, maka mau tidak mau, saya dan teman-teman mesti kedapatan berkeringat sesampainya di sekolah atau di rumah.
Si mbah saya pernah bercerita bahwa punden itu dulunya menjadi kediaman yang dihuni oleh mereka si pembabad desa. Keduanya hidup dan mengajarkan banyak peradaban baru kepada masyarakat. Keduanya juga wafat, lantas dimakamkan di kediamannya itu.
Layaknya anak kecil, saya hanya mendengar tanpa membantah. Mengiyakan dengan keluguan dan keterbatasan pengetahuan. Dan tentu saja, saya kecil tidak berani mengkritik cerita dari si mbah.
Hanya saja, seiring dengan usia saya, cerita itu menjadi banyak peroleh gugatan. Sederhananya, jika punden itu dianggap sebagai tempat keramat, kenapa tidak dibersihkan sebagai bentuk penghormatan? Kalau punden itu menjadi tempat nenek moyang pembabad desa, kenapa malah menjadi tempat untuk mencari pesugihan? Kenapa tidak diubah dan dikelola oleh masyarakat desa sebagai bagian wisata berbasis kearifan lokal, yang dapat menambah kesejahteraan dan ketahanan pangan para warga? Dan kenapa-kenapa yang lain.
Di lain tempat dan masa, mitos-mitos semacam ini justru diabadikan oleh masyarakatnya. Mereka tidak terlalu peduli ketika muatan di dalamnya berjejal ancaman, kemungkinan bala, dan datangnya bencana. Bagi mereka, mitos ini memestikan terawat sampai ke generasi terakhir mereka. Entah sampai kapan panjangnya masa yang dilalui. Bisa pendek, bisa juga panjang.
Misalnya saja masyarakat yang hidup di fase Arkais di Yunani (8-4 SM). Masyarakat di masa ini memosisikan mitos sebagai bagian dari sejarah dan seni. Masyarakat di fase ini menilai kehidupan manusia dengan segala hal di sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling butuh, dan keduanya sama-sama memberi.
Mereka tidak hanya melihat hal-hal di sekitarnya terjadi secara begitu saja. Mereka percaya bahwa ada sesuatu yang menggerakkan. Maka pandangan mereka tidak melulu natural ketika ada kejadian tertentu, tetapi juga supranatural. Mitos-mitos pun akhirnya menjadi dekat, tetapi tidak semenakutkan seperti cerita yang mereka dengar sebelumnya.
Fase ini saya rasa menjadi salah satu cara pandang yang dapat diadaptasi dalam menyikapi mitos. Bahwa hidup itu tidak semata-mata mengabaikan hal-hal di sekitar yang telah termitoskan karena seram, tetapi juga mengakuinya ada dengan tetap menaruh minat dan hormat. Lebih-lebih dikembangkan ke dalam banyak pengetahuan sampai menciptakan peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar