Senin, 30 Mei 2022

Bersyukur, Tapi Momennya Kurang Pas

Sebagai umat muslim, mengucap syukur menjadi perbuatan baik yang diganjar pahala. Sampai-sampai mensyukuri sesuatu, kendati nilainya kecil dan sederhana, oleh-Nya akan dilimpahi nikmat yang meruah. Di kampung saya disebut dengan nikmate sampek amber.

Tetapi di balik rasa syukur itu, kita kerap tidak sadar ada orang lain yang justru merasa kecewa. Momen ini memang tidak sengaja. Tetapi karena ketidaksengajaan itulah, kita menjadi merasa manusia yang paling beruntung di tengah ketidakberuntungan orang lain.

Sari al-Suqthi, seorang ulama yang ahli dalam bidang tauhid hendak berbagi kisah tentang apa yang telah ia alami. Kisah itu membuat dirinya merasa jumawa. Meski perasaan jumawa itu hanya ia alami sesaat saja.

Sari al-Suqthi dikenal sebagai orang yang kerap mengucap istighfar. Ia merasa awam. Karena itu, ia selalu waspada dengan cara memohon ampun dan rahmat-Nya. Kebiasaan ini dibangun oleh Sari al-Suqthi selama 30 tahun lamanya.

Tapi sekali waktu, ia pernah mengucapkan kalimat tahmid, alhamdulillah. Ceritanya saat itu, ia memiliki ruko di pasar Baghdad yang tidak jauh dari kediamannya. Layaknya orang yang berbisnis, kadang untung kadang juga tidak. Lumrah.

Saat ia menuju ke rukonya, ia mendengar orang berteriak bahwa pasarnya mengalami kebakaran. Hari yang mengkhawatirkan bagi Sari al-Suqthi. Dengan tergesa ia menuju ke ruko untuk melihat kondisi kebakaran pasar secara langsung.

Sesampainya di depan ruko, ia spontan mengucapkan alhamdulillah di tengah derai tangis pemilik ruko lainnya. Ucapan itu belum sampai hilang, ia sudah merasa menyesal. Katanya, “... aku menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku sendiri di atas penderitaan orang banyak.”

Barangkali kita kerap terjebak pada momen yang mirip dengan pengalaman Sari al-Suqthi ini. Bergembira dengan datangnya rezeki, tetapi lupa bahwa tetangganya sedang menahan lapar dua hari. Nilai ujiannya tinggi, diucapkan di depan teman yang nilainya rendah. Atau mensyukuri benda yang dimiliki karena masih awet saat ngobrol dengan teman yang bendanya sudah usang dan rusak.

Dari cerita ini saya rasa ada satu pelajaran berharga yang bisa dipetik bersama. Bahwa mengucap syukur itu bukan untuk diumbar ke mana-mana, tetapi untuk diri sendiri.

Kenapa? Karena musuh kita akan semakin iri mendengar rasa syukur kita, sedangkan karib akrab kita tidak memerlukan hal semacam itu. Bahwa di masa depan bisa menjadi sukses lantas hendak membantu orang lain, ya wis diniati dengan membantu orang yang butuh bantuan. Karena segala harta adalah titipan semata.

Barangkali, syukur di depan orang yang tidak beruntung adalah bentuk kesombongan manusia yang paling halus. Barangkali begitu, mungkin juga tidak.

Tidak ada komentar: