Rabu, 25 Mei 2022

Di Balik Makanan dari Istri

Di masyarakat kita, menikah memiliki syarat. Tentu saja syaratnya berbeda-beda; ada yang mematok mesti rupawan, mempunyai kekayaan, berkedudukan, saling mencintai, atau malah dijodohkan karena kesepakatan. Syarat-syarat semacam itu lazim kita temui, meski tidak berlaku mutlak.

Barangkali syarat yang sama juga bisa kita dapati dalam jalinan pernikahan di tanah padang pasir sana. Abul Haris Husain, seorang pria yang memiliki istri berparas cantik. Ia sangat mencintai istrinya.

Tapi sekali waktu, istrinya menyengaja tidak masak makanan. Saat ditanya Abul Haris Husain, istrinya menjawab dengan dasar parasnya yang cantik. “Apa dengan memandang saja tidak cukup menyenangkan, daripada menggerutu seperti itu?”, tanyanya.

Pertanyaan itu tentu saja membuat Abul Haris Husain sebal tidak karuan. Bayangkan saja, bagaimana reaksi orang lapar yang tidak terpenuhi kebutuhan perutnya. Mungkin tangan-tangan kasar akan mendarat pada istri yang semacam itu, sekalipun parasnya cantik. Peristiwa kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat kita, dari waktu ke waktu.

Abul Haris Husain memilih cara lain. Ia memberi penuturan dengan menahan sebal bahwa, jika ada lelaki tampan dan perempuan cantik hanya duduk saja dari pagi sampai petang tanpa masuknya makanan ke perut, maka mereka akan saling berseteru satu sama lain. Makanan ternyata menjadi kunci keharmonisan dalam berumahtangga.

Namun saya rasa, kisah ini ingin menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar urusan ketersediaan makanan. Di balik kisah itu, ternyata rupa yang menawan tidak jadi jaminan langgeng dan senangnya berumah tangga.

Maka ada banyak sekali kita menemui pasangan yang sebenarnya serasi dari sisi rupa, tapi rumah tangganya tidak pernah selesai dengan ragam perkara. Setiap hari dilewati dengan saling memaki. Akhirnya jalan yang ditempuh adalah berpisah. Meski kasus semacam ini juga tidak bisa dipukul rata pada pasangan dengan rupa menawan.

Sebaliknya, ada banyak sekali yang kita temukan, meski rupa pas-pasan begitu juga ekonominya, tetapi mereka hidup bahagia. Bagi mereka besok bisa makan, kebutuhan pendidikan anak tercukupi, memiliki motor, dan bisa berangkat kerja merupakan kenikmatan yang melebihi kepemilikan pasangan dengan rupa menawan.

Berati, menikah harus memiliki keuangan yang stabil dong? Secara umum memang begitu. Meski ada beberapa pasangan yang ekonominya belum stabil, tetapi tetap mampu menuai rumah tangga yang harmonis.

Terlepas dari itu, kata guru saya, kunci pernikahan yang pertama ada pada komunikasi. Kemudian selanjutnya perhatian. Dua hal itu tidak hanya membuat serasa memiliki bumi dan seisinya, tetapi juga bisa menangkal berbagai hal; kesulitan ekonomi, orang ketiga, tekanan tetangga, sampai cicilan dan angsuran. Sekian.

Tidak ada komentar: