Rabu, 09 November 2022

Menjadi Hamba, Menjadi Optimis

Sekali waktu saya pernah peroleh tanya bernada pesimis dari seorang teman. Ia menanyakan ihwal kemajuan yang diperoleh umat Islam di masa sekarang jauh menurun dibanding umat Islam di masa lalu. Kenapa bisa demikian?

Ia berangkat dari kemajuan yang dicapai sejak periode Khulafaur Rasyidin sampai runtuhnya Dinasti Utsmani di awal abad ke-19. Arsitektur, pelopor dan temuan di bidang ilmu pengetahuan, strategi berperang, sampai hal-hal yang remeh temeh ia nilai di masa kini semakin mengalami kemunduran.

Di sisi lain ia melihat sekian kejadian di warta berita yang melulu menampilkan wajah muram umat Islam. Seperti pemahaman keagamaan yang cenderung ke arah tekstual, terorisme, pelecehan oleh pemuka agama, serta keterlibatan ulama dalam bidang pemerintahan yang menumpulkan rasa keberpihakannya pada umat muslim. Ia terlihat kecewa, gelisah, sekaligus muram.

Setelah ia bercerita panjang lebar, saya menyikapi dengan sekadarnya sembari main kutip dalil, teori, maupun pernyataan dari sana-sini. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ceritanya, tetapi juga tidak menolaknya mentah-mentah. Karena cerita yang ia sampaikan dalam titik tertentu juga pernah saya alami. Mempertanyakan serta menggelisahi kiprah umat muslim dewasa ini. Barangkali perasaan serupa juga dialami oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Solusi Yang Bisa Ditawar

Maka wajar jika ditemui dari masing-masing cendekia muslim, ulama, maupun syaikh memiliki pendapat berbeda demi memajukan kembali umat Islam. Memang pendapat itu bisa kita sebut sebagai pendapat alternatif karena tidak dapat digunakan di sembarang ruang dan waktu. Karena boleh jadi problem yang sama memiliki penyebab berbeda sehingga solusi yang dimunculkan juga berbeda. Selain memang ‘pendapat’ itu sendiri sifatnya tidak memaksa, bisa dikritik, bahkan ditolak seluruhnya.

Tetapi fatalnya tanpa disadari, kita dewasa ini kerap terjebak pada petak-petak yang justru mensimplifikasi ragam pendapat tersebut. Akhirnya tanpa sadar, banyak umat muslim yang akhirnya lepas dari satu bentuk fanatisme pendapat lantas masuk ke fanatisme pendapat dalam bentuk lain. Debat berkepanjangan akhirnya jadi muara yang tak terhindarkan.

Syaikh Musthafa al-Ghalayain; Solusi Alternatif

Beberapa pendapat misalnya datang dari Syaikh Musthafa al-Ghalayain. Pembelajar Islam yang produktif menulis pemikirannya di berbagai karya. Bila kita melihat nasab pengetahuan tanpa melihat produk pemikirannya, kita akan terjebak pada dikotomi bahwa Syaikh Musthafa al-Ghalayain sebagai bagian dari pembaharu muslim. Karena dalam riwayat pendidikannya, ia pernah dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Ulama besar yang memberi terobosan wacana dan gerakan, meski tidak sedikit yang datang mengkritiknya.

Dalam karya yang telah dialihbahasakan dari kitab Izhatun Nasyi’in menjadi Hidup Sering Kali Tidak Baik-Baik Saja, Tapi Kita Bisa Menghadapinya (2022), kita dapat menemukan satu alternatif jawaban ihwal tanya teman saya yang tadi. Pertanyaan yang dirasa baru, tetapi sebenarnya telah ditemukan jawabannya oleh cendekia, ulama, maupun syaikh tempo dulu.

Wasiat Syaikh Musthafa al-Ghalayain

Di buku tersebut, Syaikh Musthafa al-Ghalayain memberi catatan beda tentang umat muslim di masa lalu yang mampu membawa pemajuan di segala bidang, dibandingkan dengan umat muslim hari ini. Kutipan di buku: “Orang-orang yang berhasil pada zaman dahulu memiliki keberanian untuk maju dan cita-cita yang tinggi, sehingga mampu menggapai pencapaian yang luar biasa.”

Pernyataan di buku memang sederhana. Pemajuan berangkat dari keberanian dan cita-cita yang tinggi. Tetapi dalam konteks hari ini, tidak sedikit mental umat muslim yang digerogoti oleh sifat inferior. Tidak sedikit yang menyimpan dengan rapi mimpinya karena takut diejek, dicaci, bahkan dikucilkan oleh orang di sekitarnya karena laku yang berbeda.

Kendati demikian, Syaikh Musthafa al-Ghalayain masih optimis pada generasi muda umat muslim di sepanjang zaman. Meskipun optimismenya ini juga dibalut dengan perasaan teror. Ia percaya bahwa di masa tertentu, umat muslim bakal bangkit layaknya kemampuan mengguncang gunung dan menahan laju kencang derap kuda. Kebangkitan yang dinilai akan melebihi kemashuran para pendahulunya.

Ia menyerukan untuk bergegas mengejar ketertinggalan dari umat-umat yang lainnya. Jika generasi mudah emoh bangkit, maka katanya: “..., saya benar-benar melihat kain kafan telah terbentang dan liang lahat sudah tergali.” Pernyataan yang melecut sekian umat muslim untuk menyongsong kebaikan dan pemajuan di masa depan.

4 komentar:

Ekka Zahra Puspita Dewi mengatakan...

Sangat inspiratif. Terima kasih catatannya, Pak. Salam kenal, penikmat tulisan Njenengan.

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Terimakasih bu ...

Much. Khoiri mengatakan...

Tulisan yang bergizi. Terima kasih.

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Maturnuwun ...