Bagi beberapa orang, rumah dianggap sebagai tempat berlindung dari turunnya hujan, terik matahari, dan dinginnya malam. Asal suatu bangunan memenuhi unsur tersebut, berarti layak untuk ditinggali.
Anggapan seperti ini tentu tidak salah, tetapi juga tidak lumrah. Apalagi untuk ukuran hari ini. Rumah tidak sekadar dilihat dari sisi fungsinya semata, tapi juga dari kacamata estetika, status sosial, dan rasa.
Sebenarnya dari sisi estetika, rumah tidak harus mewah dengan perabotan mahal, fasilitas canggih di dalamnya, dan berjejer barang elektronik. Kalau pun ingin mewah tentu tidak masalah.
Hanya saja kemewahan rumah kerap mengarah pada status sosial si pemiliknya. Mereka yang melihat kerap menilai rumah mewah dengan gaji yang dimiliki si pemiliknya. Misalnya saja tagihan listrik di rumah yang mencapai puluhan juta, tentu agak mustahil dimiliki oleh pemilik yang berprofesi sebagai petani. Meski lagi-lagi hal itu tidak bisa digeneralisir.
Tetapi terlepas dari rumah mewah dan tidak mewah, hal paling penting adalah "rasa" saat berada di dalamnya. Sebab rumah sederhana milik mbah buyut kita misalnya, kadang terasa jauh lebih terasa nyaman dan membahagiakan.
Ya, kita kerap menyebutnya sebagai rumah yang hidup. Rumah yang memberi rasa positif bagi siapa saja yang berkunjung, duduk, atau terlelap di dalamnya. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar