Sabtu, 15 Juli 2023

Tentang Rumah

"Kalau rencanaku, punya rumah dulu baru nikah", ucap seorang teman. Ucapan yang terlontar saat kami bertiga duduk bebarengan di meja warung kopi.

Kita bisa membaca bahwa ucapan semacam itu adalah pilihan. Manusia boleh memprioritaskan jalan hidupnya. Setiap manusia boleh mendahulukan mana saja: entah menikah, kerja, bakti ke orang tua, mengurus organisasi, berkarya, dan seabrek lainnya.

Tapi terkait rumah, kita meyakini hal itu jadi prioritas penting, meski tidak selalu di urutan pertama. Bahkan beberapa filsuf, cendekia muslim, dan para arif menderetkan rumah sejajar dengan makan-minum dan pakaian. Kebutuhan primer, kita menyebutnya.

Bahkan dalam ajaran Islam, ada anjuran untuk menciptakan rumah sebagai surga. Jika ditarik ke konteks sosial, rumah yang selayaknya surga, menjadi pondasi kuat untuk berbangsa-bernegara. Lantaran masyarakat yang sejahtera tidak dimulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, atau desa. Tetapi dari keluarga. Dan keluarga itu erat kaitannya dengan rumah.

Di masa silam kita mengenal sebutan nomaden. Semacam tempat tinggal yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, yang dilakukan oleh nenek moyang manusia. Kendati begitu, mereka membangun rumahnya dengan senyaman mungkin. Untuk ukuran saat itu. Kini hampir semua orang mukim dan beraktivitas di dan dari rumah. Terlepas dari status kepemilikannya.

Hanya saja, rumah tidak melulu cerita tentang bangunan tetap, mewah, dan melindungi keluarga. Rumah bagi sebagian manusia dimaknai sebagai tempat kembali. Tempat yang membuatnya memiliki jeda dari serentetan aktivitas yang merepotkan.

Bagi seorang ayah, rumahnya adalah senyum anak-anaknya. Bagi seorang pemuda, rumah paling nyaman bisa jadi ada di pasangannya. Bagi sebagian anak, rumah yang menenteramkan ada pada restu ibunya.

Maka rumah mewah dengan segala kementerengannya tidak selalu menjadikan kenyamanan ketika tinggal di dalamnya. Dan hal itu bisa juga berlaku sebaliknya. Begitu.

Tidak ada komentar: